No Country for Old Men, Menyambut yang Akan Datang

 

Aku tak pernah ketinggalan mendengarkan cerita tentang para Sheriff dahulu. Katanya mereka tak pernah membawa pistol saat bertugas, jaranng dari mereka yang membawa pistol. Sulit dipercaya memang. Aku ingin tau bagaimana mereka bertindak di masa yang sekarang ini. – dioalah dari No Country for Old Men

***

No Country for Old Men menjadi salah satu film yang layak untuk ditonton kembali. Pembubuhan simbol dan karakterisasi pada film ini menjadi aspek yang tentunya membuat film ini menyenangkan untuk diikuti. 

No Country for Old Men merupakan film adaptasi dari sebuah novel karya Conmac McCarty, disutradarai oleh Ethan Cooen dan Joel Coen, aka Coen Brothers. Pada peluncurannya, di tahun 2007, film ini meraih beberapa penghargaan dan masuk ke dalam berbagai nominasi penghargaan film. Nah, demikian review singkat dari saya.  Mari bicara hal lain. 

Jadi begini, saya akan tunjukkan dulu petanya. Dihadirkan tiga karakter vital dalam cerita ini, Ed Tom Bell, Anton Chigurch, dan Llwellyn Moss. Tiap mereka berdiri di landasan yang berbeda-beda. 

Ed Tom hanya geleng-geleng dan selalu bertanya mengapa sebuah kejahatan terjadi. Ia seolah menghadapi perubahan yang tak seharusnya terjadi. Ia menyaksikan dunia menjadi tempat yang semakin kejam. 

Sementara Llwellyn Moss, menolak untuk menyerah begitu saja. Ia berkeyakinan bahwa tiap manusia dapat mengubah apa saja. Tiap individu punya free will. Siapa yag mampu beradaptas, bertarung, dan melawan, akan bertahan. 

Di sisi lain, seorang Anton Chigurch selalu menjunjung tingi kode etik yang ia percayai. Seorang idealis yang cukup gila. Ia tak terlalu peduli dengan perubahan, yang ia tau hanya berjalan dan memburu. 

Mengutip  baris yang diucap Chigurch, "it  is what it is", tak satupun dari kita dapat menghindari yang terjadi. Sheriff Ed Tom yang merupakan protaginis kita, memang memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan Chigurch ataupun Moss. Ia menjadi saksi dari perubahan dunia yang begitu cepat. Perubahan para penghuninya tepatnya. 

Kontras yang ditampilkan melalui tiga karakter itu secara umum dapat mewakili kita semua. Tak jarang kita dengar ungkapan "anak sekarang tidak seperti anak di masa saya."

Ungkapan senada baru saja saya dengar saat mampir ke sebuah angkringan langganan. Seorang bapak usia 50an berujar "bocah-bocah sekarang ini ..." panjang sekali bapak tadi berkomentar. Saya ragu kalau ia menyindir saya, karena saya bukan bocah. Ha-ha-ha. Jadi saya bisa ikut tertawa dan mengangguk sesekali. 

Kesadaran tiap-tiap orang akan pergeseran dan perubahan adalah hal niscaya yang ditangkap dan disadari oleh tiap orang. Termasuk bapak yang tadi itu. Bahkan ia termasuk cukup peka untuk mengendusnya. Saya kategorikan peka karena paparan komentarnya perihal "anak jaman sekarang" itu. "Ya tak perlu jauh-jauh ke generasi sampean, pak. Generasi saya dengan generasi 2000an awal saja sudah beda kok" saya mbatin saja, takutnya mengganggu nostalgia Si Bapak tadi. 

Tak ubahnya Ed Tom dan Si Bapak ini, mereka tak rela kalau masa lalunya digusur oleh eksistensi generasi dan revolusi dari generasi berikutnya. Terlepas dari baik atau buruknya pergeseran itu, Chigurch ada benarnya juga. 

Lah, ya biar saja tho, Bapak tadi kan cuma ingin mengenang dan mbandingkan masanya sama masamu itu. Ya gak salah tah ya!

Jelas ndak salah, yang saya ingat saya juga tidak bilang itu kesalahan.

Begini, begini... 

Secara pribadi, saya sendiri seneng nostalgia dengan masa lalu. Ini jadi semacam tempat pelarian buat saya. Ya sebatas itu saja. Yang ada sekarang ini, ya itu yang diterima. 

Terus kaitannya sama Si Bapak tadi?

Ya, kalau yang saya cerna dari kalimat bapak tadi itu, ada semacam penolakan terhadap perubahan sekarang ini. Penolakan yang tak diakuinya. Selain tak rela kenangannya digusur, kemuakan dan keputus asaan nampak dari bangunan argumen yang blio sampaikan. Nah, rasa muak dan putus asa ini mengesankan bahwa Si Bapak telah menolak untuk menjadi bagian dari dunia ini. 

Kemudian, bukannya kalau pekarangan itu bukan punyamu, anak itu bukan anakmu, kendaraan itu bukan milikmu, kamu gak perlu repot-repot mikir ngurusinya? 

Lah! Suka atau tidak suka, faktanya semua manusia memang bagian dari dunia, bos!

Yap, secara teknis benar sekali. Sialnya, kehadiran "rasa menjadi bagian dari dunia" ini dimensinya perasaan, mental, dan moral. Saya bisa saja kabur dan bilang ini bukan generasi saya. Jadi, ini bukan salah saya. Lagian, persetan juga dengan nasib mereka. 

Wah. Sebentar,  saya kok jadi ndakik-ndakik begini ya. 

Mohon maaf, kalau terbawa suasana, kadang saya jadi terlalu idealis dan amat jauh dari sikap realistis. Hadeh...

Pada akhirnya, Sheriff Ed Tom mengakui itu. "It is what it is. We belong to this world. We’re part of this cruel world, although soon there will be no more space for us."

Kita tak tau apa yang akan datang, termasuk Chigurch si pemburu. Setiap kita, ide, dan nilai bisa tergusur oleh yang akan datang. 

Saya jadi teringat salah satu teman. Saat itu saya berujar bahwa hidup di pedalaman terpencil sepertinya jadi opsi terbaik. Teman saya itu mengangguk setuju lalu berujar "kalau tempatmu sebenarnya bukan di sana, berarti kau pengecut!" dengan nada santai. "Coba kau baca 'Robohnya Surau Kami' dulu!" lanjutnya. Harus diakui bahwa saya mangkel ketika mendapati kalaimatnya itu memang benar. Sialan! 

Yasudahlah. Sebentar, tak nyruput kopi yang sedari tadi saya diamkan, keburu dingin soalnya.