Serpihan Satire dan Ironi Racikan Gus Mus

 



“Anda sekalian sudah menikmati syair-syair dari penyair sungguhan ... sekarang sudah waktunya anda menikmati syair-syairan dari penyair-penyairan.” Tutur Gus Mus sebelum beliau melantunkan puisi-puisinya pada salah satu event membaca puisi,di Semarang pada 2011 silam. Ucapan pembuka tersebut disambut dengan tawa dari para hadirin. Guyonan ringan lain juga beliau sisipkan di antara beberapa puisi yang dibacakan. “...puisi-puisi ini saya namakan puisi balsem. Anda senang sekali, merasa tercerahkan sebentar. Nanti pening lagi.” Ah, masuk akal juga!

Nama KH. Mustofa Bisri tentu sudah tidak asing di telinga kita. Kebanyakan orang biasa menyapa beliau Gus Mus. Seorang kyai yang mashur dengan karya puisi dan lukisannya. Kiprah lain juga beliau tuai di kursi legislatif dan organisasi NU. Beliau pernah menduduki kursi DPRD Jawa Tengah pada 1987 – 1992. Secara struktural beliau juga pernah menjabat sebagai pengurus besar NU. Bagaimanapun, tampaknya beliau merasa kurang cocok menjadi aktor politik praktis dan memilih menjadi seniman, dan ulama tentunya. 

Dua hal ini memberikan corak yang khas terhadap karya-karya beliau. Nafas humanis dan theologis. Kita tidak lupa tentunya dengan penyair Taufiq Ismail. Corak-corak religius sering kali ia sisipkan dalam tiap sajaknya. Tak ketinggalan juga Chairil Anwar ataupun Rendra dengan gelora mudanya. Ataupun Sapardi dengan romansa sederhananya. Serta penyair-penyair kondang lain yang turut memberi gairah pada kesusastraan kita. Tiap-tiap mereka memiliki signature yang khas sehingga memiliki tempat di hati tiap-tiap pembacanya. 

Gus Mus sendiri tidak mau mempersulit pembaca puisi-puisinya. Kalimat yang dirangkainya mampu menggandeng kita menyaksikan sebuah potret, ataupun cerita, dalam sebuah bingkai. Kadang beliau tulis dengan nada sedikit sendu dan khidmat. Tak jarang juga beliau mengundang kita untuk sejenak tertawa, meskipun nanti pusing lagi. 

Pesan dan gagasan yang diajukan melalui bait-bait karangan beliau mengajak kita untuk berkeliling sejenak. Bait-bait itu seolah menjadi hypertext singkat dari hypotext yang hadir di depan mata kita. Pesan tersampaikan, gagasannya dapat dipahami. Hal ini tentunya tak luput dari gaya bahasa yang beliau pilih. Tidak tergantung terlalu tinggi di langit. Tidak terlalu dalam di dasar laut. Juga tidak sulit dijangkau, karena tidak perlu membuka brangkas. 

Terlepas dari itu, terdapat penggabungan majas yang unik dari tiap-tiap baris pada sajak-sajak beliau. Seperti contoh; 

Bukan karena banyaknya grup lawak,

maka negriku selalu kocak

Justru grup-grup lawak hanya mengganggu

dan banyak yang bikin muak.

... 

(Gus Mus, Negeri Haha-Hihi)

Ungkapan tersebut mengarahkan kita, paling tidak, pada dua hal; pincangnya realita yang ideal dan ironi. Supaya terlihat sedikit nyastra,  maka sebut saja satire dan ironi. Dua majas yang sering sekali kita dengar, di Tv sampai Fb. Disfungsi pelawak yang justru membuat muak menjadi ironi yang jelas dalam bayangan kita. Kegagalan grup lawak untuk membuat kita tertawa menunjukkan adanya penyimpangan dari konsep ideal. Para pelawak tak lagi pandi melucu, mereka tak selucu kelompok sebelah, pamer kebodohan dengan cara yang menggelikan. Tidak pula selucu si otak udang berkepala batu. Ah, grup lawak juga ikut pusing mau melucu. 

Penggabungan dua majas tersebut juga kita dapati pada puisi lain yang berjudul Di Negeri Amplop.

Di negeri amplop

Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya, malu

Samson tersipu-sipu, rambut keramatnya ditutupi topi rapi-rapi

David Copperfield dan Houdini bersembunyi rendah diri

Entah andai kata Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya

...

(Gus Mus, Negeri Amplop)

Kalau kita ingat-ingat lagi, Aladin adalah seorang pemuda yang dengan lampu ajaibnya berkesempatan untuk mendapatkan apa saja yang ia inginkan. Di dalam lampu tersebut ada Jin sakti. Namun tampaknya tidak cukup sakti di negeri amplop ini. Bukan hanya Aladin, Samson yang dalam legendanya mampu memutus rantai kapal juga tak cukup kuat untuk jadi pahlawan di negeri amplop ini. Apalagi para pesulap itu, bisa apa mereka? Tentunya ini menjadi sebuah potret yang menggelikan dan mengerikan dalam waktu yang bersamaan. Jangankan ilusi-ilusi, kesaktian dan kekuatanpun tak dapat menandingi amplop-amplop itu. Maka darinya, kalau mau mencoba membuat prediksi, jangan lupa bawa amplop saat akan beraksi. 

Oke, kembali ke satire dan ironi. Kombinasi dari kedua majas ini yang paing ketara dapat kita lihat pada puisi beliau yang berjudul Negeriku

Mana ada negeri sesubur negeriku,

sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung

tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung. 

...

(Gus Mus, Negeriku)

Potret kejanggalang atau bertentangannya konsep ideal dan realita seharusnya bisa menjadi sindiran yang, paling tidak, dapat membuat “kita” berpikir. Barangkali, konsep ideal yang ada di kepala kita sudah melampaui keidealan itu sendiri. Ya mau bagaimanapun, realita yang terjadi, itulah yang terjadi. 

Mungkin saja, saking suburnya negeri ini, sehingga tak ada lagi lahan tandus yang tersisa. Jadi, tak masalah rasanya jika memakai beberapa petak sawh di desa sebelah untuk kembali ditumbuhi beberapa kantor. Lagian, masyarakat kita pasti juga senang kalau bekerja di kantor. Dengan amplop yang tebal tentunya. Hehe, demikian.