Kesurupan, Sebuah Kearifan Lokal yang Portabel


    Lelaki kecil itu mempercepat langkah mengikuti ibunya yang berjarak beberapa meter di depan. Wajahnya agak cemas dan ketakutan saat salah seorang pemuda penunggang kuda anyaman bambu dengan bedak tebal mendekatinya. Ia takut kalau-kalau pemuda itu sudah ndadi

    Di lain hari, penduduk kampung berbondong-bondong menuju lapangan desa. Gemuruh cakap-cakap acak dari mereka berpacu dengan alunan musik yang sejak tadi dimainkan. Pembicaraan mereka mulai mereda saat jagoan mereka menampakkan diri. Sosok karakter dengan topeng super besar, kurang lebih lebarnya dua setengah meter dan tingginya kisaran satu setengah meter lebih. Konon, tak boleh sembarang orang pakai topeng itu. Orang yang memakainya harus kuat jiwa serta fisiknya, supaya tidak gila, mati, ataupun celaka pada saat disurupi. Terlebih lagi, keberadaannya dimaksudkan untuk menghibur warga desa. Tentu mereka tak akan terhibur jika terjadi hal-hal naas menimpa para penghibur itu.

    Saya juga tidak terlalu paham secara pasti, sejak kapan kesurupan menjadi salah satu hiburan di tengah masyarakat kita. Yang jelas demikian praktiknya. Corak tersebut tentunya memberikan pandangan yang lebih fleksibel kepada kita untuk menyikapi fenomena ini. Dirasuki setan atau makhluk gaib, dalam kalimat yang ringkas, kurang lebih seperti itu kita mendefinisikan kesurupan. Gejala yang timbul diantaranya perubahan perilaku, suhu tubuh, gaya bicara, dan tabiat tentunya. Fenomena ini menarik perhatian beberapa peneliti untuk mengkaji kesurupan dari berbagai macam perspektif. Rahardanto, contohnya, dalam Dari Rasa Sakit yang Mencekam Hingga Suka Cita yang Meluap-luap: Dinamika Psikologis Individu yang Mengalami Kesurupan. Di sana diungkapkan bahwa ada empat jenis kesurupan yaitu patologis, religius, kesurupan kuratif, dan kesurupan hiburan. Kemudian pada artikel lain, Dinamika Kesurupan Patologis: Studi Kasus Di Jawa Tengah, mendapati bahwa dorongan psikologis yang berasal dari alam bawah sadar berpengaruh terhadap kerentanan individu mengalami kesurupan. 

    Salah satu teman saya menceritakan bahwa pernah terjadi kesurupan masal saat tengah berkemah. Karena masal, mereka yang tidak dirasuki berusaha membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Ada yang menenangkan temannya, ada yang memegangi pasien lain supaya tidak semakin menjadi, ada juga yang merapalkan beberapa doa. Sialnya, tidak semua dari mereka paham dengan doa-doa ataupun tehnik penanaganan pada orang yang kesurupan. Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk merapalkan doa yang ia hafal. Dengan keyakinan dan optimis yang tinggi ia rapalkan doa sebelum makan. Di luar dugaan, hal itu berhasil.

    Salah satu peristiwa serupa yang secara langsung saya saksikan adalah penari kuda lumping yang meraung seperti harimau, lalu mengunyah pecahan beling yang telah disediakan. Ada juga yang berlari ke salah satu pohon kemudian memanjatnya dengan tangkas, kalau kata orang “dia sedang kesurupan monyet.” Berarti yang awal tadi kesurupan macan. 

    Tidak ketinggalan juga, beberpa stasiun televisi rela menyisihkan beberapa jam tayangnya untuk menayangkan wawancara orang kesurupan. Lengkap dengan pawang dan presenter tentunya. 

    Fenomena kesurupan digambarkan selaras dengan budaya yang melekat pada masing-masing masyarakat kita, namun dinamis. Salah satu film, yang berjudul Keramat (2009), berhasil menyuguhkan fenomena kesurupan dengan rasa yang sangat lokal. Karakter yang dirasuki, dalam film tersebut, melantunkan tembang jawa dengan amat fasih dan merdu. Tapi tetap saja, cukup menakutkan. Pada film lain, Timo Tjahjanto melalui karyanya yang ber ayat-ayat, menggambarkan fenomena ini dengan sangat brutal dan berdarah-darah. Mulai dari memanjat tembok, mencakar, menggigit, sampai merusak pintu. Dibarengi dengan beragam penampakan juga. Sialan!

    Lain lubuk, lain pula ikan. Ari Aster melalui Hereditary (2018) yang digarapnya, mengimajinasikan kesurupan sebagai sebuah fenomena yang terjadi dengan pelan dan bertahap. Meskipun pada akhirnya brutal juga. Hal ini sejalan dengan pendahulunya, Stanley Kubrick, yang memandang kesurupan terjadi secara berangsur-angsur. Ketidak mampuan berpikir secara sehat menjadi gangguan utama pada karakter-karakter yang dirasuki, baik pada Hereditary maupun The Shining (1980). Lalu menjalar pada tampilan, karakter, kemudian kebrutalan tingkah laku. 

    Kita mafhum betul bahwa fenomena kesurupan adalah topik yang amat tua, bisa dibilang kuno. Ia membarengi perjalanan peradaban kita. Meninggalkan beberapa jejak pada budaya, adat, dan bahkan pada ranah perjalanan keyakinan manusia. Tiap suku punya cara masing-masing menyikapi dan menyembuhkan mereka yang kerasukan. Mulai dari disiram dengan air sakti, diolesi bawang putih, dicambuk dengan daun tertentu, mantra, sampai pada ritual-ritual. Rasanya tidak perlu ditanya juga mana lebih paten dan mujarab. 

    Kita tak akan memungkiri pula bahwa kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut oleh manusia-manusia terdahulu ikut membentuk pandangan kita terhadap fenomena kesurupan ini. Dilarang menebang pohon di hutan tertentu, sebab ‘penjaganya’ bisa marah. Anak-anak tidak boleh keluar rumah setelah maghrib, karena ‘katanya’ setan sedang berkeliaran. Sebulan sekali seluruh warga harus membersihkan desa dan tiap-tiap parit serta sungai supaya ‘sang mbaurekso’ senang. Dan lain sebagainya. Mereka memilih hidup berdampingan dan berdamai dengan “para danyang” ketimbang harus gagah-gagahan dan saling gusur. Bagaimanapun, mereka mungkin tertinggal dan terlalu kolot, terlepas dari salah atau benarnya kepercayaan tersebut. Tapi rasanya, kita cukup cerdas untuk menerapkan konsep kuno itu di masa kini.  

    Saya jadi teringat cerita bapak tentang larangan menebang beberapa pohon tertentu di desanya dulu. Tidak boleh ditebang, dan harus dirawat dengan baik. Pohonnya besar dan rindang. Setiap hari warga datang bergantian untuk mengalirkan air dari sumber yang ada di dekat pohon tersebut. Waktu saya punya kesempatan untuk main ke desa tersebut, yang saya dapati sama persis dengan yang diceritakan. Beberapa pohon besar dan sumber air di bawahnya. Sebentar, kok malah sampai pohon, bukannya kita sedang ngomong kesurupan? Ah, mungkin saya sedang kerasukan.