Petruk dalam Budaya Populer: Manusia Merdeka, Romantika, dan Mistisisme


 

Pertama-tama, saya tidak tahu pasti sejak kapan Petruk bermigrasi dari Karang Kadempel ke sebuah desa bernama Tumaritis. Dan karena berbaur dengan masyarakat setempat, logat bicaranya jadi terasa sangat Betawi. Atau mungkin Petruk memang lahir di Tumaritis. Terkait, hal-hal tersebut tentu bukan kapasitas saya untuk memberi kepastian. Ini menjadi disklaimer dari saya. Hehe.

Saya sendiri mengenal karakter Petruk saat saya duduk di sekolah dasar. Petruk yang sudah didandani oleh salah satu komikus kondang Tatang Suhenra. Dan bukan seorang Petruk yang menjadi salah satu batur para Kesatria Pandawa. Meskipun pada dasarnya kedua Petruk itu tetap punya kesamaan khas. Sebagai “penghibur”.  

Perilaku nyeleneh dan jenakan dari para Punakawan biasanya menjadi event yang ditunggu-tunggu oleh para penonton. Kita semua tentunya sudah sangat mafhum bahwa Punakawan adalah figur tambahan dari seniman dan pujangga kita. Maka darinya, para Punakawan ditampilkan sebagai tokoh-tokoh yang sangat njawani

Para Punakawan, dalam pertunjukan wayang purwa, mulai dihadirkan di babak goro-goro. Kegaduhan mulai timbul, kekacauan, dan konflik semakin runyam. Namun kehadiran para Punakawan yang slengekan malah acap kali memberikan jalan keluar untuk masalah-masalah tersebut. Kehadiran mereka juga menjadi penghantar pesan-pesan moral untuk para punggawa Kerajaan Amarta.

Hingga saat ini Punakawan masih dijadikan sebagai metafora dari kehidupan dan suara rakyat kecil. Esensi ini kemudian diterjemahkan dengan elok oleh Tatang Suhenra menjadi sebuah cergam/komik yang dapat menghibur seluruh masyarakat. Petruk, seorang pemuda “merdeka” yang kegiatannya keliling kampung, memancing, ronda, dan sesekali menjadi super hero. Merdeka bukan? 

Komik Petruk yang digarap oleh Tatang S. ini berhasil merepresentasikan kehidupan masyarakat kelas bawah yang hidup di pedesaan. Tak heran jika cerita dan humor yang dihadirkan sangat mudah dinikmati dan kerap mendatangkan tawa para pembacanya. Mulai dari kejadian saat Petruk diculik oleh makhluk halus, berdiskusi dengan hantu yang mencari sepeda motornya, sampai pengalamannya menjadi Dragon Ball.

Kedekatan cerita Petruk ini semakin terasa saat kita mengamati komedi-komedi yang disajikan oleh Mas Tatang. Komedi dan kelucuan terjadi karena adanya gerakan, tingkah, ataupun kontak fisik yang sering diluar prediksi normal kita. Kita sontak tertawa saat menyaksikan Petruk jatuh dari pohon, atau saat ia teler dan diculik oleh Wewe. Ah, saya jadi teringat dengan pria muda yang tercebur ke pinggiran waduk dengan helm yang masih melekat di kepalanya. Berenang kok pakai helm. 

Komedi-komedi yang dihadirkan lewat Petruk ini memang demikian, muncul dari penganiayaan, penderitaan, dan kecelakaan. Kelucuan serupa juga terjadi saat petruk menendang ayah Dek Ani, pacar Petruk. 

Bagaimanapun, Petruk adalah pemuda biasa yang ingin berkekasih juga. Namun cintanya terhalang oleh masalah yang kita semua paham, tentunya. Status ekonomi.

“Dik Ani nggak pantas punya pacar macam abang, karena abang orang kere” tutur Petruk suatu hari. 

“Miskin atau kaya bagi Ani nggak jadi soal, umpama aje abang orang miskin sejagat ini, cinta aye ama abang tetep dua puluh empat karat” Ani meneguhkan.

“Tapi abang nggak yakin... Apalagi yang melarangnya bapak Dik Ani sendiri,” ungkap Petruk pesimis. 

Perihal asmara Si Petruk ini, kita semua tentu sudah sangat familiar. Terjegalnya cinta karena harta menjadi lagu lama yang seolah tak pernah pales di telinga kita. Hadeh, rasanya tak perlu terlalu panjang membahas yang satu ini. Mulai dari cintaku terhalang pulsa sampai yang kesalip Avanza, kita semua sudah hafal yak. Iyalah!

Selain dua hal tadi, tak ketinggalan juga aroma-aroma mistik yang ditorehkan oleh Mas Tatang di karyanya yang satu ini. Tak dapat dipungkiri, konsep-konsep mistik yang sampai saat ini masih melekat menjadi bagian dari masyarakat kita adalah akibat dari tak tuntasnya penguraian konsep itu sendiri. Beberapa masyarakat kita seolah mampet dan kekeuh memegang serta terus menelan mentah-mentah apa yang ada. Parahnya lagi, partai sebelah bermaksud memberangusnya. 

Perihal mistis dan klenik, masyarakat kita seolah terpecah menjadi dua partai yang berebut pohon apel. Satu partai bermaksud menebangnya, sementara kelompok lain bersikeras mempertahankannya tanpa tahu kalau pohon apel itu ada buahnya yang enak di makan. 

Sebentar, sebentar. Ini kok malah jadi mluber ke mana-mana. Maafkan saya. Mari kembali ke Petruk yang tinggal di Desa Tumaritis tadi. Dalam hal ini, Mas Tatang mencoba memberikan potret kepada kita tentang permasalahan-permasalahan dasar yang masih melilit kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Melalui Petruk kita mengadukan uneg-uneg kita. Melalui Petruk disampaikan masalah-masalah remeh yang seharusnya sudah bisa ditangani sendiri-sendiri. Dan lewat Petruk pula, wajah asli kita terpotret. 

Pada akhirnya, dengan segala kebijaksanaan yang dimiliki, tentunya para Pandawa paham betul dengan keadaan Petruk dan Warga Tumaritis. Pandawa paham betul kalau warga Tumaritis sebenarnya cukup cerdas untuk tertawa terhadap humor-humor cerdas nan berkelas. Para pemudanya juga sebenarnya cukup bertalenta, dengannya tak perlu lagi ada keraguan untuk hanya sekedar melantangkan cinta mereka. Lagian, konon kabarnya Pandawa sudah menang di Kurusetra. Werkudoro dengan gagahnya melumpuhkan para Kurawa. Yah, Warga Tumaritis tak ingin melihat gada. Maka mungkin ini jatah Puntadewa. 

Seperti kata Tatang Suhenra “Salam manis tak akan habis, salam sayang tak akan hilang.” Sekian.



Bacaan:

Binar Murgati Pardini, dkk. 2016. Representasi Kelas Bawah pada Tokoh Punakawan dalam Komik Karya Tatang S.

Gun Gun Gunawan, dkk. Kajian Gaya Visual Storytelling Tatang Suhenra.

Irfan Teguh. 2018. Kisah Komikus Tatang S. Mengangkat Cerita Rakyat Jelata. (tirto.id) 

Tatang Suhenra (Komik Petruk)