Iklan, Bukan Hanya Menawarkan Produk dan Jasa


   

 “Ku beri satu permintaan!”

    Ucap Om Jin, yang baru saja keluar dari sebuah kendi, sembari tersenyum kepada seorang pemuda yang sedang beristirahat di pendopo tengah sawah. Ia terlihat sumringah kemudian mulai memikirkan keinginannya. Hingga malam tiba, ia masih belum menyampaikan keinginannya kepada Om Jin. Karena kelewat mikir, Om Jin mendorongnya. “Jangkrik!” umpat pemuda itu. “Nah, oke!”

    Ilustrasi tersebut tentunya sudah tidak asing di benak kita. Yap. Penggalan dari sebuah iklan salah satu produk yang amat dekat dengan keseharian kita. Iklan tersebut ditutup dengan ungkapan “yang penting hepi!”

    Ah, sangat optimis. Bagi saya, iklan ini menjadi salah satu iklan yang paling mengena dengan tone yang jenaka. Dan sangat Indonesia. Iklan ini seolah dapat menjadi gambaran all-in-one untuk mempromosikan  ‘Indonesia’. Penggambarannya juga sangat halus. 

    Merujuk kepada konsep representasi dari Stuart Hall, simbol dan reprentasi dihadirkan untuk mewkilli sebuah budaya dan segala pemikirannya. Kemudian, dari iklan yang diperankan oleh Om Jin dan pemuda tadi, paling tidak ada dua hal yang direpresentasikan; kelas sosial dan selera masyarakat. 

    Memahami kelas sosial dari target merupakan salah satu aspek penting bagi pengiklan. Kita dapat berhipotesa bahwa, iklan tersebut memang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Berdasarkan simbol yang dihadirkan pada iklan, ada priyai dan abangan. Om Jin berpakaian layaknya bangsawan keraton lengkap dengan blangkon, kadang tampak keris yang terselip pinggangnya. Sedangkan kaum abangan, ya alakadarnya saja. Kebetulan juga di sawah, jadi tidak perlu pakai sandal. 

    Representasi kelas sosial ini dapat membawa kita membayangkan peran dari tiap-tiap mereka. kadang memang, di sela waktu istirahatnya, para petani atau, katakanlah, masyarakat grass-root menghibur diri dengan berkhayal dan berandai-andai. Tentunya diselipkan pula harapan. Seketika itu pula para priyai datang dan menawarkan pengabulan harapan mereka. 

“Ku beri dua permintaan! ”

“Pingin Sugih!” 

Om Jin menjentikkan jarinya. Dengan ajaib muncul lembar-lembar rupiah dan sebuah mobil.

“Pingin ganteng.” 

Sontak petir menyambar disertai hujan. “Ha?... Ngimpi!” timpal Om Jin sambil tertawa. 

    Karakter otentik masyarakat kita juga terselip cukup rapi pada iklan tersebut. pada dasarnya kita memiliki selera humor yang cukup tinggi. 'Selagi ada kemungkinan, dicoba dulu. Kalau gagal, ya ditertawakan saja'. Protes dan menggugat karena merasa ditipu? Ah, buang-buang tenaga saja. Kita tentu sudah sangat familiar dengan dua kemungkinan ending tersebut. Yang penting hepi. Kurang lebih begitu iklannya.  

    Iklan menjadi hal yang hampir pasti kita temui setiap hari. Ia seolah tak pernah mati, selalu berevolusi. Kurag lebih seperti itu yang disampaikan oleh Bandung Mawardi dalam Iklan, Tembang, Sastra. Iklan hadir dalam segala bentuknya, menjelma menjadi bagian dari masyarakat kita. Sederhananya, iklan dimkasudkan untuk mempengaruhi target supaya melakukan tindakan tertentu. Konsumsi, aksi, inovasi, dan membangun narasi. Pernyataan gamblangnya, iklan tidak hanya hadir untuk mengenalkan produk kepada khalayak luas. Iklan juga menjadi proses tabur ideologi, demikian yang terjadi sejak zaman kolonial dulu. 

    “Mama, brati aku nggak cantik, ya?” tutur seorang balita kepada ibunya saat melihat salah satu iklan shampo di TV. “Lo, kenapa sayang?” Balita tersebut hanya menyisir-nyisir rambutnya dengan jari, kadang sedikit ditariknya supaya terlihat lurus. 

    Iklan-iklan ikut membentuk skema arah masyarakat kita. “Saya tidak bisa dikatakan mapan jika tidak punya mobil.” “Saya terkesan kurang maskulin jika tidak mengendarai harley.” “Saya tidak cukup cantik karena rambut ikal ini.” “Saya tidak menawan karena terkesan terlalu gemuk, atau bibir yang tidak terlalu merah.” “Oh, saya belum open-minded jika tidak pro dengan gerakan ini.” Dan sebagainya. Iklan yang muncul di reklame, majalah, dan internet kadang juga menjadi barometer suatu nilai. 

    Segala macam ideologi dan konsep disisipkan melalui berbagai simbol yang dapat menancap di benak para targetnya. Sebuah iklan menghadirkan seorang inisiator yang sukses dengan idenya. Sementara iklan sebelah, dari produk yang sama, memampang seorang bangsawan keraton lengkap dengan blangkon dan sandangan lokalnya. Jika saya imajinasikan, kurang lebih dialognya mungkin begini; “Bukankah ia inisiator yang hebat? Tampan pula, tentunya. Ia memakai produk kami.” Sementara pihak sebelah “Anda orang lokal? Cinta dengan warisan dan budaya leluhur? Beli produk kami!”

    Ya tentu saja, pengiklan akan menghadirkan sesuatu yang paling dekat dan ideal dengan apa yang ada di benak masing-masing target mereka. Mempengaruhi tindakan, menjadi misi utama dari iklan. Pada akhirnya, terlepas dari semua itu, "yang penting ..." Lah, malah ngiklan. Demikian.