Matinya Sebuah 'Naskah'

Salah satu contoh penerapan konsep 'the death of the author'

 


Tek, bunyi nyala kompor di dapur saya hampir dibarengi dengan dering telpon genggam di saku. Jarang sekali pesan masuk pagi hari, seringnya sms provider yang tak bosan mengingatkan untuk beli pulsa. 

“hari ini ada kegiatan tidak?” tanya teman melalui pesannya, yang nggak standar blas. “Ayo ngopi! Sekalian ngomongin skripsi.” Sambungnya. 

“Yop, warung pinggir sawah!” jawab saya ringkas. 

Teman saya datang lebih dini, kalau dilihat dari rokok di sela jarinya ya sekitar 15 menit yang lalu. Tanpa ba-bi-bu “menurutmu temanya apa?”

Setelah diskusi lumayan lama, dia setuju dengan usulan saya. Puisi. 

Seminar proposal tampaknya tidak berjalan semudah yang ia kira. Ia dihujat sana-sini. Bahkan katanya ada salah satu penguji yang sampai berdiri. “intinya dosen-dosen yang nguji kemarin itu billang harus izin dulu ke penulisnya!” 

Lah!”

Lah, maksudmu?”

“Kau-kan mau neliti. Bukan mau ngadaptasi!”

“Pokoknya mereka bilang harus izin. Harus tawadlu’! Soalnya puisi-puisi ini ditulis oleh seorang kiyai. Begitu kata penguji.”

“Terus kalau keterkaitan subjek dengan jurusan? Maksudku, dengan studi Pendidikan Islam.”

“Sepertinya lolos, tadi penguji nampak garang waktu ngomongin ijin. Seingatku itu.”

“Beliau itu sastrawan. Pasti paham.”

“Maksudnya?”

“Teh es-nya diminum dulu.”

Begini ...

***

Tahun 1967, sebuah esai ditulis oleh salah satu esais dan kritikus kondang, Barthes namanya. Di sana ia mengungkapkan beberapa argumen bahwa sebuah karya sastra yang ditulis dan diterbitkan akan secara otomatis memutus hubungan penulis dan karya sastra itu. Karya sastra atau teks itu berdiri sendiri, akan membela dirinya sendiri. 

Lebih jauhnya, Barthes dan yang mengikutinya menganggap bahwa teks yang telah diterbitkan tidak dapat dibela oleh penulisnya. Penulisnya telah mati. 

“Tapi beliaukan masih hidup.”

Bukan itu yang dimaksudkan. Kematian si penulis terhadp teks yang diterbitkan itu membentuk pemahaman bahwa teks itu kini berinteraksi dengan pembaca. Sebuah karya sastra itu akan jadi aneh jika interaksinya malah justru dengan penulisnya sendiri. tulisan-tulisan dimaksudkan untuk berinteraksi dengan pembaca, bukan penullis. 

“Jadi...”

Yap, benar. Si penulis menghilang, ia berada di balik tirai panggung dimana teksnya ditampilkan. Bahkan tak jarang juga ia berada di kursi penonton. Pernah main ke pacuan anjing?

“Belum”

Ya paling nggak pernah lihat di Tv atau semacamnya. Nah, para anjing berpacu. Saat anjing-anjing itu beradu cepat, apa yang dilakukan pemilik anjing, pelatih, dan penonton? Sorak sorai terdengar, beberapa dari mereka mengamati tiap-tiap anjing lalu memberikan komentar. Ada yang bilang “anjingnya kurang vitamin!” ada juga yang berkomentar ke anjing lain “ekornya kebesaran, tak bisa lari itu!”

Hadeh, kok malah sampai anjing balap. Puisi, ya ngomonginnya puisi!” potongnya.

Oke! Begini saja, puisi atau karya tulis apapun itu terdiri dari baris-baris kata. Benar?

Orang bisa tersenyum, tertawa, terharu, ataupun marah karena?

“Kata-katanya” 

Iyap! Itu dia. Makna dari tiap kata yang tersusun di sana. Kemudian siapa yang memberi makna-makna itu? Seperti yang kita pahami bersama, si pembaca yang memberikan makna pada tiap-tiap baris itu. Lebih jauhnya, kita juga bersepakat bahwa susunan kata yang membangun baris-baris itu bisa menjadi tak bermakna sama sekali. 

“Kita bisa gunakan kamus!”

Nah, kamus! Setelah kita telaah lagi, kamus itu produk. Salah satu produk dari budaya kita. Maka kamus berasal dari?

“Akal budi, sosial, kultur masyarakat.”

Oke, jadi kita sepakat kalau makna dibentuk oleh pembaca, ya. Lanjut, setelah sebuah teks dipublikasikan  dan dibaca oleh banyak orang, maka status teks ini adalah bebas. Ia memberikan ruang kepada tiap pembaca untuk memaknainya. 

“Interpretasi tiap orang bisa beda-beda, kan?”

Bisa. Penulis telah mati, karyanya berdiri sendiri. Makna-makna yang melekat pada karya itu-pun akan dipengaruhi oleh pemikiran dan latar belakang dari si pembaca, tak ketinggalan juga para kritikus. Beberapa pembaca paham betul sejarah dari sebuah kata, latar belakang penulis, bahkan sampai kondisi sosial pada saat tulisan itu dipublikasikan. Besar kemungkinan, mereka memiliki pemaknaan yang berbeda dengan pembaca yang mengagumi keindahan rima dan kata saja. 

Kita ambil satu contoh kongkrit, kalau diucapkan ‘tahun 1945’ apa yang terlintas di pikiran?

“Tahun Indonesia merdeka”

Iyap! Di kepala orang lain bisa saja yang terlintas adalah akhir dari perang dunia II. Sebagai pembaca, saya akan mellihat kondisi sosial, kultur, dan aspek lain yang langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi makna yang saya sematkan pada ‘tahun 1945’. 

Nonton Inception?

“Film? Yap satu atau dua tahun lalu”

Bagaimana membedakan mimpi dan kenyataan pada film itu?

“Cukup mudah. Totem, logika, keanehan, dan semacamnya. Gedung terbalik, cuaca aneh, istrinya.”

Sepakat! Simbol-simbo yang disajikan membentuk persepsi dan interpretasi kita pada sebuah makna. Lalu di akhir film, muncul paling tidak dua pemaknaan yang berbeda. 

“Mereka terjebak di dunia mimpi dan yang lain menganggap itu bukan mimpi.”

Lebih jauhnya, matinya si pengarang bermakna hidupnya si pembaca. Otoritas akan makna dari karya atau tulisan sepenuhnya diserahkan kepada pembaca, kritikus. Campur tangan pengarang terkait interpretasi teks atau karya menunjukkan kediktatoran pengarang itu, yang berarti membunuh pembaca atau kritikus. Konsekuensi dari kediktatoran ini, meskipun secara tidak langsung, adalah matinya karya tersebut secara perlahan. Tak ada makna yang perlu dibicarakan, dikritik,  ataupun diapresiasi. 

“Berarti kalau berlandaskan matinya si pengarang ala si... siapa? Barthes.”

Iyap, Roland Barthes.

“Roland Barthes. Boleh, kalau dikatakan ruh karya sastra ataupun teks ada pada interpretasi, kritik, dan apresiasi. Dan itu bisa diwujudkan jika kita melepaskan teks atau karya dari pengarangnya. Begitu, ya?”

Hmmm... itu sedikit terlalu dramatis, tapi itu tepat. Berlaku untuk teks, lukisan, dan sepertinya juga sosial masyarakat serta filsafat. 

Kemudian, teori yang diajukan Roland Barthes lewat esai The Death of The Author ini sangat berkaitan dengan konsep intertekstualitas, sepertinya juga bersaudara dengan transtekstualitas. Tiap teks punya keterkaitan dengan teks lain, baik untuk pemaknaan ataupun pembacaan pola. 

Hop! Berarti intinya?”

Ya, kau tak perlu menunggu izin penulis untuk memberi interpretasi ataupun apresiasi. Dengan pisau bedah yang tepat tentunya, namanya juga skripsi. 

***

Ngapunten, mas. Niki gelase kulo pendet nggih?” ujar penjaga warung. 

Teman saya yang paham makna kalimat tadi berdiri lalu menuju meja kasir. “sekalian, Nyik, kopi satu gorengan lima!”

“Oke!” ujarnya.



Diolah dari:

The Death of The Author (1967) - Roland Barthes.

The Rebirth of The Author - Nicholas Rombes.

Beberapa diskusi di warung dekat kampus dan wts.