Sepi yang Mencabik Taji

untung kau tak mampus beneran, Truk.


 

Dulu saya pernah diberi seekor ayam jago. Pawakannya tidak terlalu besar, malah terhitung di bawah rata-rata ukuran ayam jago pada umumnya. Pada bagian leher ke atas, warna bulunya coklat mengkilap. Sementara di sayap dan badannya berwarna hitam kehijauan. Kemudian ekornya berwarna coklat keemasan. Saya tidak terlalu ingat suara kukuruyuk-nya, tapi wajahnya saya masih hafal betul. Garis mahkota dan dua anting-nya merah hampir menyamai bunga mawar. Konon itu hasil persilangan dari ayam Ka-te dan ayam hutan. Entah bagaimana cara mereka menyilangkan dua ayam itu. 

Terlepas dari keelokan bulu dan rupanya yang paling menarik perhatian, bagi saya adalah tajinya. Bentuknya agak melengkung seperti Pedang Tentara Persia, runcing, dan terlihat tajam. Pada saat itu, saya yakin pejantan yang berpapasan dengannya pasti merasa segan.

***

Tilulit-tilulit... Telepon genggam saya berbunyi cukup pagi, kini mendahului nyala kompor saya. Mungkin karen merasa diabaikan, kini bukan hanya bertilulit tapi begretar cukup lama, sebuah panggilan masuk. “Si Petruk” memanggil beberapa kali. 

“Yop, Truk...?”

“Posisi?” suaranya hampir membersamai kalimat pembuka saya tadi. 

“Kontrakan, gimana?”

Yop! Ayo warung pinggir sawah, mumpung libur!”

“Halah, pinggir sawah terus!” timpal saya tak terlalu antusias. 

Lha di mana?” nada bicaranya tak berubah, masih bersemangat. 

“Pinggir waduk,” saya mengusulkan.

“Siap! Pinggir waduk.” Sembari menutup percakapan. Seperti biasa, gak standar blas.

*** 

Sudah setengah jam berlalu, kami masih belum memulai pembicaraan berarti. Hanya menanyakan kesibukan masing-masing. Terutama kesibukan Si Petruk ini setelah skripsinya selesai disidangkan beberapa bulan lalu. 

“Mampus kau dikoyak-koyak sepi ...” gumamnya.

Ah, sejak kapan Petruk ini mulai tertarik dengan kalimat-kalimat semacam itu. Saya sengaja mengeraskan suara saya, seperti biasa. Mungkin dia akan tersulut untuk berkelahi. Ia masih saja bergeming tanpa mengalihkan pandangannya. Mungkin Si Petruk kini tak hanya tertarik pada pemikira-pemikiran Camus, Sartre, ataupun Kierkegard beserta antek-anteknya. Mungkin ia mulai senang pula dengan puisi-puisi para pendahulu. Meskipun kapasitas saya sebagai cah sastra tidak kental-kental amat, saya cukup familiar dengan potongan lirik itu, Chairil Anwar

Sontak, meskipun agak lambat, saya teringat film Warcraft yang baru saja saya tonton tempo hari. Pada babak terakhir dari film itu memotret kesepian sebagai perkara serius yang melemahkan. “Kesepian, membuat kita lemah” begitu kurang lebih yang diungkapkan Medivh, The Guardian, sebelum tewas. Paling tidak bagi kita yang hanya menonton adaptasi filmnya, tentu paham betul kapasitas Medivh ini. 

Tidak sampai di situ, jika ditarik mundur mengingat reputasi Medivh – dalam film adaptasi dari video game warcraft – baik di luar ataupun dalam kerajaan tak diragukan lagi pentingnya. Saya bahkan ingat betul kala ia mendatangkan petir sebagai back-up untuk pasukan kerajaan. Tak terlewat juga sumbangsihnya membuka portal gaib kala raja dan rakyatnya terdesak. Begitupun saat pengambilan keputusan-keputusan strategis, usulannya selalu dipertimbangkan oleh para dewan. Sekuat ituilah figur Medivh, sepenting itulah kedudukan Medivh

Bertolak dari yang dialami Medivh, tawa saya yang dipicu oleh ujaran Petruk tadi mulai menghilang. Melihat kekacauan yang dialami oleh Medivh, saya rasa tidak berlebihan jika melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang serius. Ya, paling tidak bagi para ilmuan dan psikolog. Atau bagi para pemerhati masyarakat. 

Maka tak heran jika kita mendengar Jepang membentuk sebuah kementrian khusus untuk menangani fenomena ini, sekalian buntut-buntutnya. Kabinet Kementrian kesepian ini, sebagai mana yang diungkapkan oleh berbagai media, akan menangani mereka yang mengalami kesepian kronis, depresi, dan semacamnya. Salah satu sebab yang melatar belakangi hal ini adalah angka bunuh diri akibat kesepian kronis dan rentetan dampaknya. Konon angka bunuh diri pada tahun 2020 di Jepang telah melampaui angka korban meninggal akibat Virus Korona. 

Saya dan teman saya ini, Si Petruk, masih tak saling berbicara. Tidak aneh memang, kami sering ngopi bareng dengan suasana seperti ini. Kali ini tersa agak berbeda karena sepintas pemikiran tadi. Sialan. 

Pada akhirnya, saya tak akan menganggap Si Petruk sedang kesepian. Saya yakin ia akan menampik diagnosa saya, diikuti dengan berbagai macam dalil yang tak dapat dibendung. Bahkan saya sendiri, yang sebenarnya cukup kompeten untuk ditandingkan dengan Si Petruk, tidak dapat membendung untaian dalil dan bangunan argumen yang ia gelontorkan. Pokok e angel ngunu wae.

Yah, kalaupun Si Petruk memang sedang merasa kesepian, depresi, merasa tak dikehendaki kehadirannya, atau apalah itu, tentu ia akan cerita sendiri. Saya paham sekali, Si Petruk hanya punya beberapa gelintir teman, ya termasuk Si Gareng, Bagong, dan Semar tentunya. Paling tidak, beberapa gelintir temannya tadi bisa mengusir sepi yang akan mencabik-cabiknya. Petruk tampaknya tak akan tumbang. 

“Untung kau tak mampus beneran, Truk!” saya mencoba memulai pembicaraan.

Petruk terbahak-bahak mendengar ucapan itu. Sebenarnya saya bingung di mana letak kelucuannya, dan saya juga tambah bingung kenapa saya juga ikut tertawa. Mungkin karena Squidward. Hadeh... Sudahlah.