Seperti Makanan, Musik Tergantung Selera
Berbicara tentang musik memang tidak ada habisnya. Ia bisa
menjadi pemersatu, dan di saat yang bersamaan bisa menjadi pemecah. Yang
terakhir ini hanyalah perbuatan para oknum yang tidak bertanggung jawab. Tapi,
musik sejatinya hampir mirip-mirip dengan makanan; soal selera masing-masing
individu. Tak bisa kita memaksakan apa yang menurut kita enak kepada orang lain
yang jelas-jelas menjulurkan lidah atau bergidik ketika mendengar namanya. Ada
yang suka dan gila dengan dangdut koplo panturanan
kemudian tiba-tiba disetelkan satu nomor dari Thy Art Is Murder, ya jelas saja
dia mesti ngacir. Sebaliknya juga, ada yang menggandrungi Waking the Cadaver hingga
teknik bernyanyinya pun bisa, namun ketika ada yang memutar Love Song-nya Big Bang, tanpa dikomando
pun sejurus juga ngibrit sambil tutup kuping dan misuh-misuh. Sama seperti seorang penggila durian yang menyodorkan
si raja buah ini kepada mereka yang langsung mual bahkan ketika baru mendengar
namanya.
Ngomong-ngomong soal selera musik, saya sendiri pun masih bingung dengan selera saya. Karena, hampir-hampir, saya mencoba mencicipi sekian genre yang bertebaran di Spotify. Ya, walaupun tidak kesemuanya bisa nyantol manis di kuping, yang pasti, asal easy listening ya gas sajalah. Ada satu cerita—menarik untuk saya, belum tentu untuk Anda—dulu, sewaktu masih duduk di bangku SD, saya tumbuh mendengarkan lagu-lagu dari Jamrud—salah satu band rock yang masyhur di Indonesia—seperti Surti Tejo, Pelangi di Matamu, dan Ningrat. Bahkan, masih segar di ingatan saya, salah satu keping CD mereka pun saya punya, tentunya yang bajakan di abang-abang pinggir jalan. Maaf. Di kala itu juga, 2000-an, musik-musik semacam yang dimainkan Peterpan, Nidji, Kangen Band, Ada Band, Wali, ST12 dan sederet band-band pop-melayu yang sedang naik daun menjadi playlist wajib bagi anak, yang mengaku, muda.
Beranjak ke bangku SMP, saya dikenalkan oleh kawan kepada
musik pop punk, yang kala itu masih dalam skena indie lokal. Nama-nama yang cukup terkenal yaitu Vitamin C, Remote
Control, The Pink Sweet, Battle of Soul, dan lain sebagainya. Itu baru di dalam
negeri, yang manca juga tak kalah pamor, hits-hits besutan MCR, Blink-182,
Green Day, SUM 41, bahkan Dear
God-nya Avenged Sevenfold-berikut versi bahasa Indonesianya. Juga di waktu
ini, kali pertama saya mendengar geraman dan dentuman musik hardcore dan metalcore. Awalnya, kedua telinga saya menolak dengan alasan,
“Bernyanyi, kok, kaya berkumur.” Namun, ketika mendengar satu nama band lokal
asli Kota Solo, saya langsung menyukai genre
ini. Salahudin Al Ayubi-lah penyebabnya. Bukan nama pahlawan Islam era Perang
Salib, hanya memang band ini meminjam nama beliau. Pertama, jujur, saya
tertarik dengan nama band ini, karena unik. Kemudian, secara otomatis telinga
saya pun mengikuti. Selang beberapa waktu, selepas sekolah, selayaknya anak SMP
dulu, kami mampir ke salah satu warnet (warung internet, yang kala itu amat
tersohor sebagai spot anak sekolah
kongkow setelah rental komik). Join-nan
booth, teman saya membuka YouTube—yang
kala itu saya masih sangat asing dengannya—memutar salah satu video live dari Bring Me The Horizon yang
memainkan Pray For Plagues-saat masih
beraliran deathcore. Dari situlah
saya mulai menggemari berbagai lagu dari band asal Inggris ini, sekaligus mengikuti
pergeseran alirannya yang begitu kentara dari Count Your Blessings sampai album teranyarnya, Post Human: Survival Horror.
Dulu, juga sekarang, banyak penggemar fanatik suatu band
yang begitu memuja idolanya. Sampai-sampai membenci band lain sekaligus
penggemarnya. Bahkan ada kala dimana saat salah satu band tampil, penggemar
dari band lain melempari mereka dengan berbagai macam benda.
Itulah pentingnya menghargai orang lain beserta
kegemarannya. Pun demikian dengan sudut pandang dan juga pendapat.
Kembali ke soal selera, pernah saya disinggung oleh kawan
terkait musik yang saya dengarkan-kami dengarkan. Sejurus itu dia berujar,
“Loh, kamu suka dangdut juga?” seakan-akan sudah terpatri di selingkungan rumah bahwa
saya terafiliasi dengan musik keras dan sejawatnya dan menutup kemungkinan akan
saya mendengarkan aliran lain di luar lingkaran itu. Bak seorang yang terkenal
di circle-nya sebagai penyuka es-es-an,
namun ketika disuguhi kopi, ia menyesapnya sampai ke ampas.
Saya tidak munafik. Dangdut, memang, enak untuk goyang.
Senada dengan ucapan Project Pop, “Dangdut is
the music of my country”. Musik asli Indonesia yang bahkan dijadikan kontes
di salah satu televisi nasional dengan peserta dari negara-negara di Benua Asia,
dan kita sebagai tuan rumah patut berbangga diri dengan pencapaian ini.
Terlepas dari hal itu, tak bisa dipungkiri kalau musik ini
adalah musik akar rumput. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur kondang yang
namanya ‘dangdut koplo’; didominasi dengan lirik berbahasa Jawa atau cover dari lagu-lagu pop Tanah Air, dan
bahkan lagu manca yang sedang naik daun. Sedang di daerah Jakarta ada yang
namanya ‘Orkes Gerobak Dorong’ yang menggunakan media gerobak dorong untuk mengangkut berbagai piranti sound dan kemudian bernyanyi dari gang ke gang; menyasar masyarakat di perkampungan untuk menyajikan hiburan sekaligus mencari nafkah.
Ada lagi aliran musik yang dipopulerkan oleh the one and only, the Godfather of Broken Heart, almarhum Didi Kempot, yang sempat digandrungi oleh kawula muda beberapa tahun lepas. Mereka menahbiskan diri sebagai pasukan patah hati yang selaras dengan lagu-lagu sang maestro. Mereka ambyar dalam alunan lagu dan lirik yang dinyanyikan; yang nggerus hati dan pikiran mereka. Mungkin beliau sudah tiada, namun nama dan karyanya abadi di hati sekian rakyat Indonesia, terkhusus anak-anak muda. Musik Didi Kempto sendiri sering dilabeli sebagai campursari hasil kawinan pop Jawa, koplo, sejumput keroncong, dan setitik dangdut. Tapi itu bukan pasal, yang penting para pendengar bisa damai di bawah naungan lirik-lirik sendu nan galau besutan beliau.
Mungkin itu saja yang saya curahkan terkait musik seperti
makanan, tergantung selera. Yang pasti dan perlu digarisbawahi, musik
seharusnya menjadi salah satu alat pemersatu bangsa di tengah kehirukpikukan
dunia ini. Dengan mengambil contoh almarhum Didi Kempot dan karya-karyanya,
beliau bisa mempersatukan para muda-mudi di bawah kondisi ambyar dan membuat mereka yang tidak berbahasa Jawa, secara
otomatis mempelajarinya.
Tentu saja, saat berada di lapangan yang sama, mereka
bisa menangis, berkeringat, bersenang-senang bersama, tanpa perlu gontok-gontokan, sikut-sikutan, dan
bahkan mengamalkan istilah ‘senggol bacok’.
Merayakan patah hati bersama.
Boleh dikata, aliran musik ini seperti nasi
goreng. Tidak semua orang suka, namun tetap menikmati apabila disajikan.
Terakhir, tidak peduli selera mana yang Anda anut atau sukai, asal itu tidak memaksakan ke orang lain, saya rasa hal itu oke-oke saja. Karena, seperti yang saya tulis di atas, selera individu itu berbeda-beda. Perbedaan dan keragaman itulah yang menciptakan keindahan.
Dan kalau ingin meracuni, ya pilihlah cara yang menurut Anda paling baik.
Tabik.