Ngopi adalah Medium dari Obrolan yang Meliar


 

Kopi adalah salah satu jenis minuman yang memiliki peminat luar biasa banyak di seluruh penjuru dunia. Kepopularitasannya bersanding dengan teh, susu, dan bahkan minuman keras. Selaiknya minuman lain, kopi memiliki ciri khas, karakteristik, dan jenis yang berbeda pula. Secara umum, kopi terpisah menjadi dua jenis, Arabica dan Robusta. Yang mana bagi para pecinta dan atau penikmat kopi sudah menjadi pengetahuan umum; akan karakteristik dan rasanya.

Sebagai seorang yang suka kopi, namun berbeda dengan para pro yang benar-benar dapat membedakan rasa kopi yang satu dengan lainnya, saya hanya dapat, a la gampangnya, membedakan kedua jenis tersebut dengan rasa: yang satu mesti bercita rasa asam; Arabica, dan yang lain tidak; Robusta. Namun demikian, lidah saya tidak, mungkin belum, terlatih menyesapi tiap cangkir kopi dengan varian atau jenis yang berbeda. Sedari saya mulai menyukai minuman berwarna pekat ini, jenis yang kerap saya seduh, atau disuguhi pada saat bertamu, adalah Robusta. Tentunya dalam bentuk saset.

Kemudian hal ini muncul di beberapa kalangan masyarakat dalam bentuk guyonan ‘Kopi itu diseduh, bukan disobek.’ Lumayan menggelitik.

Jujur, saya mulai dapat merasakan kopi pada saat tahun pertama berkuliah, dan kemudian berlanjut sampai detik ini. Tentunya, hal tersebut tidak terlepas dari peran kawan-kawan sepergaulan saya, baik di rumah ataupun di bangku kuliah. Kebiasaan nongkrong di lingkungan rumah yang notabene menyandingkan kopi dengan rokok, yang ternyata berulang di lingkungan kuliah. Kebiasaan ini sudah seperti maklum di mana-mana, ditambah dengan merebaknya kedai-kedai kopi di sekitar kampus; menjadi titik kumpul bagi para penikmat kopi di areal sekitarnya untuk sekadar bertemu atau memang betul-betul tertarik dengan daftar menu yang disajikan.

Mengutip obrolan Jimi Multhazam ‘The Upstairs/ Morfem’ dan Malau di acara mereka ‘Ngobryls’ episode delapan puluh yang tayang di kanal YouTube ‘Jimi X Malau’, bahwa kopi menjadi kode baru untuk sebuah pertemuan ataupun perbincangan, entah babagan bisnis, pertemanan, hiburan, dan lain sebagainya. Istilah ‘ngopi’ perlahan bergeser dari kegiatan meminum kopi menjadi kegiatan bercakap-cakap dan atau pertemuan. Dahulu pun ada istilah ‘kopi darat’ yang populer di era orang tua kita. Kopi darat sepadan dengan pertemuan, ketemu, ketemuan, bertatap muka, dan lainnya yang bermakna serupa.

Arti ‘ngopi’ ini mungkin juga diamini oleh teman-teman saya yang mengajak minum kopi. Bukan hanya sekadar menenggak minuman pahit berwarna pekat ini, namun juga ada obrolan yang mengikutinya. Topik perbincangan yang membumbui ritual ini tidak terbatas pada urusan hidup, pekerjaan, edukasi, bahkan sampai menembus masalah negara dan isu-isu hangat yang terjadi di satu pekan terakhir sewaktu kita ngopi. Pembicaraan ini terkadang, malah mungkin seringkali, tidak berstruktur. Yang mulanya membahas satu isu kemudian bisa merembet ke hal-hal lain yang bahkan tidak ada sangkut-pautnya dengan bahasan awal.

Kali terakhir saya ngopi dengan karib, sewaktu SMA, beberapa hari lepas, di rumah, saya menawarinya dua jenis kopi, Arabica Papua Wamena—yang terbungkus plastik berklip berwarna emas—dan Robusta Jawa—terbalut plastik bening biasa dengan label mereknya. Nampaknya ia tertarik dengan si bungkus emas, karena mungkin lebih terkesan mahal—faktanya memang—dibanding yang satunya. Lalu saya jelaskan kalau varian Arabica berasa agak lebih asam daripada Robusta. Setelah saya suguhkan, tanpa gula tentunya, ia mencecap sedikit dan berkomentar, “Tambah gula,” setelah saya tambah gula pun dia berkata kalau rasanya masih aneh. Tentu saja.

Perihal rasa kopi ini saya kemudian memberikan gambaran kepadanya bahwa si Arabica memang biasanya berasa asam dengan sedikit manis, sedang yang sering saya seduh sewaktu ia bertandang adalah si Robusta. Ah, rasanya tak perlu terlalu bertele-tele. Kopi tetap kopi. Lantas obrolan kami menapaki topik baru ketika dia membukanya dengan menanyakan kejadian akhir-akhir ini. Terkait penembakan antar suatu ormas dan pihak berwajib, tentang ihwal hidup dan segala problematikanya, pandemi yang seperti tak pernah selesai, dan kemudian bermuara kembali pada masalah pekerjaan. Rasa-rasanya, saat ngopi bahasannya seakan tidak pernah padam, dan malah memantik tema lain. Hanya kantuk dan smartphone lah pemisah ngopi dan ngobrol ini.

Dari pengalaman ini, saya kemudian berkesimpulan bahwa, sebagian dari peminum kopi hanya tahu satu jenis kopi: kopi pahit plus gula (baca: Robusta). Ketika merasakan rasa asam Arabica, mereka terkesiap, karena mungkin, mereka lebih terbiasa menyeduh varian Robusta.

Sebagai seorang peminum kopi—saya tidak berani melabeli diri dengan ‘penikmat’ ataupun ‘pecinta’ kopi, karena itu hanya akan membuat saya merasa rendah di hadapan mereka yang benar-benar menikmati dan mencintainya—mau tak mau, suka tak suka, saya harus, atau setidaknya paham dengan dunia perkopian. Mulai dari membaca tentang jenis kopi, cara menyeduhnya—yang saya ketahui selama ini hanya dengan air panas (tubruk), ternyata banyak lagi—, pembawanya ke bumi Nusantara, dan pelbagai topik lainnya seputar minuman ini. Ada juga saya temukan di buku Kereta Api Terakhir karangan Pandir Kelana varian seduhan kopi yang diminati Herman, karakter utama, yaitu kopi brontak. Varian kopi jenis ini, setelah saya telusuri di internet, adalah nama lain dari kopi telur yang terkenal dari Vietnam. Tentunya saat Herman sedang ngopi bersama kekasihnya, Retno, dia membahas perihal tugas yang diembannya dan romantika yang terjalin—sejalan rel kereta api dan persinggahannya—di antara keduanya. Lagi, obrolan lintas topik terbentuk kala melangsungkan ritual ini. Seakan-akan, apa yang mengikuti ngopi ialah selalu yang dinamis.

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, ngopi atau minum kopi memang nikmat dirasakan saat sendiri, merenungi hidup, atau sebagai teman begadang mengejar deadline, bahkan sebagai katalis untuk ide-ide baru nan segar. Tetapi akan berlipat-lipat lebih nikmat dan meresap apabila ngopi bersama kawan dan membicarakan hal-hal apapun tanpa tedeng aling-aling dan tentunya membelukar. Selain membekasnya rasa pahit, asam, dan sedikit manis di lidah, perbincangan yang menyertai kopi itu tentunya akan memantik sudut pandang baru di pikiran kita.

Jadi, ayo ngopi.