Camelia, Sebuah Ode dan Elegi


ELEGI.n. Syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita (khususnya pada peristiwa kematian)

ODE.n. Sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, peristiwa yang dimuliakan, dan sebagainya

***

Ada banyak alasan mengapa tak sedikit orang yang mengagumi karya dari Ebiet ini. Seperti yang kita tau bersama, Camelia menjadi karya yang muncul di awal karir beliau sebagai seniman musik tanah air. Lagu Camelia mencuat hampir ke seluruh penjuru. Ia mengenalkan seorang gadis, pada Camelia I, dan “membunuhnya” pada, Camelia IV. 

Bagi beberapa orang, lagu ini terasa amat personal. Beberapa orang merasakan romansa lewat lirik puitis yang agak mendayu. Ada juga beberapa orang yang mencari “Si Camelia” ini. Tentu saya secara pribadi saya setuju dengan itu bahkan mugkin kita semua mengangguk akan pendapat-pendapat tersebut. 

...

Puisi dan pelitaku

kau sejuk seperti titik embun membasahi daun jambu 

di pinggir kali yang bening 

sayap saayapmu kecil lincah berkepak

seperti burung camar 

terbang mencari tiang sampan

tempat berpijak kaki dengan pasti

*** 

Sebentar, ada baiknya jika kita sedikit menyinggung secara personal pencipta lagu Camelia ini. Ebiet G Ade menjadi panggilan akrab pria yang lahir tahun 1954 ini. Saat muda, ia memiliki bermacam cita-cita dan disinilah ia mendarat. Ebiet sebagai seorang penyair, atau musikus. Ebiet mengakui bahwa lagu-lagu yang ia tulis banyak diinspirasi oleh cerita-cerita masa muda dan pengamatannya. Maka tak heran jika lirik-liriknya terasa sangat dekat dengan kita. Kadang bertema sosial, kemanusiaan, dan tak jarang juga tentang keindahan alam serta ciptaan Tuhan. Tak heran pula, kalau berbagai macam penghargaan dianugerahkan kepada beliau, salah satunya penghargaan Anugerah Kebudayaan kategori Satyalacana pada tahun 2018. 

Selain pengalamannya di masa lampau, pengaruh pendidikannya juga lumayan kentara pada karya-karya beliau. Seperti pada lagu berjudul Berita Kepada Kawan atau Untuk Kita Renungkan. Nilai ketuhanan ia selipkan dengan amat rapi bersamaan dengan pesan sosial kemanusiaan serta pesan untuk bersahabat dengan alam. Di sana terdapat pengaruh pemikiran transenden yang membuat lirik-liriknya terasa religius. Tentunya bukan hanya pada dua lagu itu saja, pada Kalian Dengarkan Keluhanku, nilai-nilai kemanusiaan juga tampak cukup kentara. 

***

Kembali ke Camelia. Setelah saya dengarkan beberapa kali satu set Camelia (Camelia I, Camelia II, Camelia III, dan Camelia IV), sebuah hipotesis mendarat di kepala saya. Salah satu alasan mengapa Camelia menjadi salah satu lagu yang digandrungi. Struktur yang mengarahkan kita berjalan perlahan melintasi matahari pagi, melewati tepian sungai dan laut, melihat matahari sore, dan sampailah kita pada wujud Si Camelia ini. 

Pada Camelia I, pilihan kata ‘dia’ dan ‘kau’ acap kali dipakai untuk merujuk pada Camelia. Si penyair tidak sedang berbicara kepada Camelia, ia sedang bercerita atau paling tidak berkhayal. Dalam khayalannya, ia mengandaikan Camelia layaknya embun, camar, kadang bunga. Semua puja itu didasarkan pada mimpi dari si penyair. 

Sebuah Ode yang disadurkan pada seorang gadis. Sebuah pujian pada seorang gadis yang ia sangka mengisi mimpinya di malam hari. 

Kemudian, kata ganti ‘kau’ dipakai untuk menceritakan seolah ia sedang berbicara kepada Camelia, yang mana sebenarnya Camelia tak tau akan hal itu. 

Sebentar, memang sedikit mbulet

Begini, saya jadi teringat salah satu karya E.E. Cummings, I Carry Your Heart With Me. Kemanapun si penyair pergi, ia merasa seolah Camelia bersamanya. Ia merasa dapat berbicara secara langsung kepada si gadis bersamaan dengan cerita penggambaran, tentang Si Camelia ini, yang disampaikan pada orang lain. Yap, layaknya sebuah delusi. Tapi rasanya tidak berlebihan. Begitulah Ode, sebuah pemujaan. 

Sedikit berbeda dengan Camelia I, pada Camelia II penyair menggunakan kata ganti ke-dua untuk merujuk pada Camelia. Penyair menceritakan kehadiran Camelia yang mewujud mengisi hari-harinya. Maka asumsi yang muncul adalah Camelia dan Si Penyair melalui hari bersama-sama. 

Namun ini tak serta merta meyakinkan kita bahwa Camelia memang benar-benar ada di sampingnya. Lirik “Tak Perlu Engkau Berlari Mengejar Mimpi yang Tak Pasti ...” seolah meninggalkan celah untuk pertimbangan ulang keberadaan Si Camelia ini. Kalau boleh dibilang, ada sedikit ambiguitas di sini. Jika Camelia II dijadikan sebagai lagu yang berdiri sendiri, maka kita bisa memilih interpretasi kita sendiri, Camelia memang hadir mewujud di hari-hari Si Penyair, atau Camelia hanya hadir masih dalam mimpi si penyair. 

Hingga kita sampai pada Camelia III dan IV. Sebuah konfirmasi bernuansa elegi. Camelia memang pernah ada, menemani si penyair bermain gitar. Ya, mungkin juga ikut bernyanyi. 

Bagaimanapun, Camelia III dan IV, rasanya, membuat kita merenung ketimbang tersenyum. Pada Camelia III dan IV, kata ganti yang disematkan untuk merujuk kepada Si Camelia adalah kata ganti orang ke dua ‘kau’. Namun layaknya Camelia I, si penyair hanya membayangkan Camelia hadir di sana saat ia berbicara. Camelia telah pergi, hanya tinggal namanya saja. Itu terukir di sebuah batu nisan. 

Camelia III berisi penyesalan Penyair yang tempo hari membuat Camelia, mungkin, sedih. Di sini penyair hanya mengenang masa-masanya yang indah bersama Camelia. Pendeknya, Camelia III merupakan lagu kenangan untuk Camelia. Layaknya sebuah elegi, duka cita tergambar lewat kenangan-kenangan yang diungkapkan oleh si penyair. 

Dengan nada yang sedikit lebih sendu dari sebelumnya, Camelia IV tampaknya menjadi panjatan-panjatan doa untuk si Camelia. Si penyair mencoba menghibur Camelia dan dirinya. “Kematian hanyalah tidur panjang. Maka mimpi indahlah engkau, Camelia.” Tak dapat dipungkiri pula, sepi mulai datang membelenggu. Penyair tak malu pula mengungkap dan mengadu pada Tuhan, seperti yang kita telah bicarakan sebelumnya. Nilai transenden. 

Pada akhirnya, kita dapat melihat sebuah ode dan elegi yang dikompilasi dalam Camelia. Terlepas dari ambiguitas dan strukturnya, Camelia memang tokoh imajiner yang hanya nyata dalam Camelia itu sendiri. Sekian.