Children of Heaven, Sebuah Potret dari Kepolosan dan Pemahaman

 



    Ali menahan langkahnya, menyandarkan tubuhnya sisi lorong rumahnya. Wajahnya tertunduk, tak berani menatap Zahra. Senyum yang muncul dari Zahra justru membuat Ali semakin ragu. Perlahan ia melangkah, memberanikan diri mendekat ke Zahra. Mereka kini berhadapan, wajah Ali masih tertunduk. Senyum Zahra perlahan tak tampak lagi. Mereka tak berucap apapun. Ali yang biasanya selalu memberi penjelasan kepada adiknya, tampaknya tak terlalu berani membuka mulutnya. Zahra selalu paham bahasa kakaknya. Tak ada kata pembelaan, pertanyaan ataupun rengekan. – Diolah dari film Children of Heaven.

***

    Kebahagiaan menjadi topik lawas yang sudah lama dibicarakan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Meski begitu, topik yang satu ini selalu membuka dirinya untuk diterjemahkan secara serampangan dan suka-suka. Pada kenyataannya memang demikian. Tak ubahnya dengan Sisifus, salah satu karakter paling populer bila bicara kebahagiaan dan penderitaan, ia meiliki kebahagiaannya sendiri – The myth of Sisyphus.

    Kebahagiaan terlukis  di tiap-tiap inci semesta dengan gaya dan tema beragam. Selaras dengan ini, majid Majidi dengan gaya abangannya berhasil merancangnya ke dalam sebuah karya, yang kini sudah lawas, Children of Heaven. Terlepas dari beberapa penghargaan yang ternobatkan pada film ini, Majidi berhasil memberikan potret dari polosnya kebahagiaan. Kebahagiaan hadir karena adanya harmoni seluruh elemen yang bergerak sebagaimana mestinya. Kemarahan penagih hutang, kekesalan pemilik toko, kekesalan Zahra karena sepatu Ali yang kebesaran, pujian yang dilontarkan oleh kedua orang tua Ali, sampai pada ikan-ikan yang tak enggan mendekat saat Ali menceburkan kedua kakinya, bahkan tukang garam yang tiap pagi mengelilingi komplek sambil menjajakan dagangannya. Setiap potongan tersebut memenuhi bagiannya masing-masing. 

    Kebahagiaan di mata Ali dan Zahra tampak seperti hal yang jauh dari kata rumit. Mereka mampu menciptakan tawa dan senyum sesuai porsi saat mereka benar-benar membutuhkannya. Berangkat dari sini setidaknya hal tersebut dapat menjawab sebuah pertanyaan fundamental.

    “Bagaimana kita harus hidup dan bertindak?”

    Pertanyaan tersebut menumbuhkan beberapa cabang pemikiran dalam memaknai kebahagiaan. Para penggemar Plato bisa sependapat dengannya, Plato, yang berpandangan bahwa jasad menjadi salah satu hal yang membatasi kemurnian jiwa untuk bahagia secara sempurna. Beberapa pemikir lain, yang saya rasa lebih moderat, seperti Aristoteles dan Al-Farabi memiliki poin kesepakatan dalam memandang makna kebahagiaan.  Keduanya memiliki pandangan bahwa kebahagiaan bukan sesuatu yang hanya dapat diraih saat jasad dan jiwa (baca: Ruh) terpisah. “Kebahagiaan tidak seekslusif itu, ia bisa diperoleh saat ini dan tentunya saat mendatang.” Mungkin demikian dialog imajinernya. 

    Lebih jauhnya, Al Farabi mengungkapkan bahwa kebahagiaan merupakan tujuan dari hidup. Kesimpulan ini dibangun dengan keranngka pikiran bahwa kebahagiaan adalah kebaikan. Hal-hal yang baik tentunya membahagiakan, dan hal yang membahagiakan merupakan kebaikan. Selain itu, kebahagiaan dan kebaikan merupakan sesuatu yang sifatnya kodrati. Thomas Aquinas juga ambil bagian dalam ranah ini, mengusung sebuah ide yang bersumber dari nilai dan moral. Ia mengungkapkan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan untuk dapat mencapai nilai tertinggi, yaitu Tuhan. Maka darinya, sebuah kebahagiaan sempurna akan tercapai apabila seseorang “memandang” Tuhan. 

    Pada beberapa lini, pandangan Aristoteles hingga Al-Farabi memang tampak naif. Baik Ali ataupun Zahra, keduanya masih duduk di sekolah dasar, mungkin belum mengenal Aristoteles, namun sudah cukup fasih mengamalkan “pemiikirannya.” 

    Di pagi yang kurang baik, Ali tak sengaja menghilangkan satu-satunya sepatu yang Zahra miliki. Segera ia meyakinkan Zahra kalau ia akan menemukan kembali sepatu itu, meskipun pada akhirnya tak kembali juga. “Kau bisa ke sekolah pakai sandal” ujarnya kepada Zahra. “Ali kau menghilangkan sepatuku!” timpal Zahra. “Kau bisa pakai sepatuku, aku akan memakainya setelah kau pulang” sembari menyodorkan sebuah pensil ke Zahra “ini untukmu.” Cara yang cukup diplomatis.

    Bagi Ali ataupun Zahra sepatu hanya sebuah syarat untuk dapat diizinkan masuk kelas mengikuti pembelajaran. Mereka berkeyakinan bahwa belajar adalah kebaikan. Mereka paham betul kalau mereka harus berlari saat berangkat atau keluar dari kelas. Mereka cukup berhasil melihat di mana letak kebahagiaan. Mereka tak mau mempersulit diri. Sepatu hanya sebuah properti yang bisa mereka akali. Kadang Zahra merasa malu karena sepatu yang ia kenakan. Sesekali ia berusaha menyembunyikan sepatu itu dengan merapatkan kedua kakinya. Namun tak jarang juga ia tersenyum percaya diri karena sepatu yang ia kenakan adalah sepatu olahraga. 

    Ali tampak tak bisa berkomentar jika ditanya ‘sampai kapan’. Yang ia pahami baru sebatas yang ia sedang alami. Masuk kelas dengan satu sepatu basah karena tercebur parit, menerima teguran dan peringatan, serta mengusap keringat dan mengatur nafasnya setelah berlari secepat yang ia bisa. Saat inilah, di sela-sela kejadian tersebut. Waktu jeda, ia dapat memilih. Sama halnya dengan Sisifus, melihat batu yang ia dorong ke atas bukit bergulir kembali ke lembah. Sebuah jeda yang membuatnya tersenyum menyadari apa yang terjadi dan memberikan waktu untuk memandang secara menyeluruh. Paling tidak, Ali tentunya berada di posisi yang lebih cerdas ketimbang sisifus. Atau mungkin lebih baik. Atau kebetulan saja. 

    Pada akhirnya, melalui Children of Heaven, Majid Majidi menghadirkan figur innocence sebagai salah satu solusi menyikapi isu-isu yang dipandang kompleks. Jika memang demikian adanya, maka rasanya tidak berlebihan untuk mendengarkan suara-suara terebut. Mungkin demikian.