Iwan Fals, Refleksi Suara Marginal Lewat Lirik nan Puitis



Sebagian orang mengenal Iwan fals dan koloni di grupnya karena Bongkar dan Sumbang-nya. Banyak juga yang mengenalnya melalui lagu Kemesraan dan Yang Terlupakan. Tidak sedikit juga yang tahu Iwan Fals karena lirik puitis nan mendayu seperti pada lagu Yakinlah.

Hingga saat ini, tampaknya ia masih menjadi seorang figur yang masyhur dan digandrungi. Melalui lagu-lagu yang dinyanyikannya, ia hadir dalam berbagai ‘bentuk’ di hampir seluruh kalangan masyarakat dengan status sosialnya masing-masing. Kehadiran Iwan Fals dan grupnya, tanpa menafikan kehadiran musikus-musikus seangkatannya, menjadi salah satu tokoh revitalisasi permusikan Indoneisa.

Tapi bagaimana? Bagaimana bisa karyanya menjadi sesuatu yang seolah-olah terus mengudara dan, katakanlah, menginspirasi banyak orang?

Berbagai macam kisah dan pengalaman hidup menjadi lahan paling subur untuk dijadikan sebuah lagu. Puluhan bahkan ratusan pemusik menceritakan pengalaman dan pengetahuan mereka lewat lagu yang mereka kreasikan. Begitupun Iwan Fals. Namun, ia memiliki caranya sendiri. Sederhananya ada dua hal yang dapat kita cermati dari karya-karyanya, yaitu lirik-liriknya, kemudian suara dan aransemen musiknya. Liriknya lugas dan sederhana, kritis, dan bahkan beberapa memang provokatif. Musiknya sangat merakyat, mudah didengar dan bisa ditirukan. 

Tapi rasanya, yang sangat menarik dari lagu-lagu Iwan Fals bukan hanya dua hal tadi. Iwan Fals bukan cuma bernyanyi atau mengkritisi, tidak hanya mencoba menginspirasi. Iwan Fals menyajikan sebuah allegori. Ia bercerita. Ia tidak hanya mencoba menginspirasi, ia mengajak pendengar dan penikmat musiknya untuk naik ke tahapan beretorika. Lebih jauhnya, ini juga menunjukan sikapnya dalam memandang para pendengar lagu-lagunya. Menempatkan Mereka sebagai orang-orang yang mampu mengambil nilai dari cerita. “Di sudut jalan ada Si Budi, yang rumahnya megah itu Pak Bento, kalau yang di seberangnya itu rumah Tante Lisa.” 

Secara pribadi, itu klasik dan berkelas. 

Bukan hanya itu, cerita-cerita yang dihadirkan juga khas dan memiliki cita rasa tersendiri di tiap-tiap telinga. 

Oh, benarkah demikian?

Begini, setelah berkali-kali saya dengarkan beberapa lagunya, paling tidak ada dua hal yang membuatnya demikian. Kontras dan humor. 

Salah satu lagunya yang berjudul Ambulan Zig-zag, dari album Sarjana Muda, memberikan kontras yang cukup terang. Di lagu tersebut tergambar kontras kejadian antara seorang nyonya dan seorang bapak. Keduanya adalah calon pasien di sebuah rumah sakit. 

Kontras itu langsung disajikan sejak awal lirik lagu. Dengan gambaran sangat detail. 

“... Di dalam ambulan tersebut tergolek sosok ibu gemuk, bergelimang perhiasan, nyonya kaya pingsan mendengar kabar putranya kecelakaan.” (Ambulan Zig-zag, 1981)

Lirik tersebut menghadirkan cerita yang kontras dengan hal yang dialami si bapak.

 “Tak lama berselang super hellicak datang masuk membawa korban yang berkain sarung. Seluruh badannya melepuh akibat pangkalan bensin ecerannya meledak.” (Ambulan Zig-zag, 1981)

Dua cuilan cerita tadi menyajikan beberapa kontras yang berimbang untuk menceritakan status sosial masing-masing tokoh. Mulai dari kendaraan, keadaan fisik, sampai kecelakaan yang dialami. Namun rasanya kalau dilihat lebih jauh lagi, hal yang unik justru terlihat pada kendaraan yang mereka gunakan. Ambulan dan Hellicak. 

Dengan sumber daya, pengalaman, dan relasi yang dimiliki, si nyonya kaya mampu mendatangkan ambulan untuk mengantarnya ke rumah sakit. Hal yang berlawanan terjadi pada Si Bapak. Menyewa jasa hellicak untuk mengantarkannya ke rumah sakit, bisa saja, menjadi keputusan yang paling jos. Terjebak macet dan kepanasan, ya sudah barang tentu. 

Setelah diperkenalkan kepada dua tokoh utama ini, kita diajak untuk menegok ke dalam rumah sakit. Saat suara ambulan itu meraung memasuki gerbang rumah sakit, dengan tanggap para medis membawa si nyonya ke ruang periksa. Nyawa itu nomor satu, harus segera di tolong. Bisa fatal akibatnya kalau sempat telat satu menit saja. Pernyataan tersebut dapat terbaca karena gerak mereka yang sangat tanggap dan cepat menangani pasien ini. Pastinya mereka sudah terbiasa, dan sangat paham mana kejadian genting dan mana yang bisa menunggu sebentar. 

Bapak pemilik kios bensin tentunya mendapat penanganan yang berbeda, kasus yang dialami berbeda. Si bapak mengalami luka bakar, yang diagnosanya tidak perlu pemeriksaan yang njelimet. Anak magang pun, rasanya, tahu kalau itu luka bakar. Jadi jangan terburu-buru. Semuanya harus ditangani dengan sabar dan hati-hati, dan sesuai nomor antrian.

“Kalau kau mendadak harus dibawa ke rumah sakit, mau pakai ambulan atau becak motor?” 

“Ya kalau sakitnya perlu pertolongan super segera, pilih ambulan to ya.”

Pada lagu Ambulan Zigzag diceritakan kalau si nyonya sakit karena kaget, sedangkan si bapak mengalami luka bakar karena kios bensin ecerannya meledak. Penyakitnya saja sudah beda. Sakitnya orang kaya dan yang tidak kaya itu beda. 

Kontras lain juga dipotret dengan apik oleh Iwan Fals di lagu Barang Antik. Kali ini ia menampilkan kontras dalam sebuah harmoni suasana jalan kota metropolitan. Seperti biasa, potret kontras langsung digambarkan pada bait pertama lagu.

“Berjalan tersendat diantara sedan-sedan licin mengkilap” (Barang Antik, 1984)

Sebuah pemandangan yang tidak aneh bagi orang-orang yang tinggal di kota-kota besar. Hanya saja, Iwan Fals mampu menerawang ke dalam kaca-kaca mobil bahkan ke beberapa isi kepala. Kemudian diolah lalu disajikan. Yang disajikan pun hanya potongan tipis satu baris tadi. Kemudian diperjelas dengan memberikan gambaran detailnya.

“... Dengan warna pucat

Dan badan penuh cacat

Sedikit berkarat

Hei oplet tua 

Dengan bapak supir tua.” (Barang Antik, 1984)

Di lagu ini, ia tidak mencoba menggambarkan kondisi fisik ataupun suasana hati si bapak tua. Hal ini membuat pendengarnya tidak terlalu segan untuk tertawa bersama si bapak pemilik barang antik tersebut. Meskipun memang oplet tua yang dikendarai si bapak adalah si bapak itu sendiri, tapi rasanya si bapak kadang tertawa saat ia amati oplet tersebut di sela-sela jam makan siang atau saat mencuci opletnya di pagi hari. 

Jadi, ketimbang memberikan gambaran utuh dari sebuah peristiwa kontras dan membandingkannya secara langsung, Iwan Fals memilih memotong-motongnya menjadi cuilan kecil supaya bisa ditonton bersama. Potongan-potongan kejadian yang beberapa darinya tak dapat dicegah untuk tidak terjadi. Potongan yang memang seperti itu. Potongan yang justru kadang bisa dijadikan hiburan oleh bapak pemilik kios bensin atau si nyonya. Cuilan-cuilan kecil yang dapat dirangkai menjadi sebuah lukisan yang padu. 

Cuilan-cuilan kecil yang membuat kita sampai kepada salah satu kesimpulan bahwa perbedaan, atau kalau boleh dibilang kesenjangan, nampak cukup jelas. Sejelas melihat oplet butut di tengah mobil-mobil mewah. Ya kesenjangan ekonomi, kesenjangan berpikir, kesenjangan moral apalagi. Berani-beraninya, oplet tua berkarat mepet-mepet ke mobil mewah. Kalau sempat srempetan gimana coba? Catnya mahal, kalau Oplet kan sudah berkarat. Belum lagi remnya, kalau mogok di tengah jalan kan jadi ngalangi jalan sedan. Dasar, moralnya itu lo!