Mengenang Membuat Kami Merasa Dikenal





 “Mbah udah pergi, Le.” Matanya tertutup, kepalanya masih tersandar di badan kursi. Saya hanya mengangguk sembari mengamati wajah paman saya yang tampak lesu. 

“Usia kakek berapa, om?”

“63 tahun.”

Secara emosional, saya dan mendiang kakek, pada saat itu, memang tidak terlalu dekat.  Maklum, bocah sembilan tahun. Melihat dunia hanya sebagai tempat bermain, memancing, dan kadang tertawa haha-hihi saja. Sangat sederhana.

Yang saya ingat dari kakek saya, pada saat itu, tidak ada yang ‘istimewa’. Beliau orang yang kaku, cara jalannya khas, dan suaranya suaranya lumayan lantang. Bukan hanya itu, saya ingat sekali aksen tertawanya. Sangat mirip dengan karakter Angel Eyes di film The Good The Bad The Ugly. Tapi hanya senyummnya saja, kadang beliau juga tertawa lepas. Setiap kali saya menonton Morgan Freeman dalam The Shawshank Redemption saya teringat dengan tawa beliau. 

Terlepas dari karakter dan cara tertawanya, setelah saya pikir-pikir, beliau sepertinya tidak terlalu kaku juga. Pernah beberapa kali beliau melemparkan lelucon yang membuat saya mencari kelucuannya, suapaya bisa ikut tertawa. Pernah juga ia memuji hasil garapan saya. Kalau saya sakit, beliau tak pernah absen ke rumah. 

Ya kurang lebih seperti itu. Sekitar 15 tahun lalu belaiu tutup usia. Tapi rasanya tidak demikian. Semakin bertambah umur saya, rasanya figur beliau justru tampak semakin jelas keberadaanya di kepala. Beberapa frasa yang sering dilontarkan atau suaranya kini terdengar nyaring di kepala saya. Beliau hidup untuk kali keduanya dalam kepala saya. 


***

Maret 2020, sebuah pesan masuk di salah satu WA grup alumni SMA. Sebuah berita duka. Telah berpulang beliau Gus Umar Fauzi. Kyai pengampu Ta’limul Muta’allim, yang setiap malam kamis dilangsungkan kajiannya di masjid pesantren, telah selesai menjalankan perannya. Kantuk serasa dicabut, pergi entah ke mana. Kebetulan teman-teman kontrakan juga belum tidur pada saat itu. Kami duduk di ruang tamu, menyalakan sebatang rokok lalu memulai pembicaraan. 

Pembicaraan yang dilangsungkan bukan sesuatu yang berat. Kami tidak berbicara tentang sebuah perencanaan. Perencanaan apa yang bisa kami buat, ilmu saja tak memenuhi. Kami hanya mengenang, mencoba mengingat beliau yang baru saja dipanggil. Terlepas dari tidak mampunya kami melakukan apapun, mengenang membuat kami merasa di kenal oleh beliau. 

Selang beberapa bulan kemudian, Desember 2020, berita duka kembali datang dari keluarga pesantren. Beliau Haji Muhammad Aminuddin kembali dipanggil. Beliau merupakan salah satu guru yang mengenalkan saya kepada ushul fiqh

Saya sejenak terdiam, dua orang di tahun yang sama. 

Banyak yang saya pelajari dari beliau berdua, bukan hanya saat di kelas atau saat kajian di serambi masjid. Mendengarkan cerita dari teman atau berada dalam satu mobil dengan beliau-beliau rasanya sudah bisa jadi hal yang sangat berarti.

Suatu waktu, di salah satu angkringan dekat pesantren, kakak kelas saya bercerita kalau ia baru saja sowan dari Ndalem Gus Umar Fauzi. Ia bercerita kalau ia segan karena takut mengganggu kegiatan muthola’ah kitab yang biasa beliau lakukan. Namun mau bagaimana lagi, pintu sudah terlanjur diketuk dan kini dibuka. Beliau mempersilahkan santrinya untuk masuk dan berhenti sebentar dengan kitabnya. Tidak sampai di situ saja, beliau juga memperlakukan santrinya yang akan sowan ini dengan baik. “Wonten nopo, Kang Rohman?” sambut beliau kepada salah satu pengurus dirasah saat itu. 

Beliau memang salah satu orang yang sangat istiqomah mendidik para santrinya. Tak jarang beliau mengunjungi kamar-kamar santri putra saat beberapa santri mulai terlihat sedikit malas mengaji. Atau memberikan nasihat secara langsung kepada beberapa santri selepas pengajian pagi. Biasanya, terlebih dahulu beliau bertanya kepada santrinya “Kok jarang ngaji niku, wonten nopo?”

Berbeda dengan Bapak Muhammad Aminuddin, beliau mengambil peran besar di sektor pendidikan formal saat saya masih belajar di pesantren dulu.  Saya ingat betul, saat itu saya kelas XI, beliau mengantarkan beberapa siswa untuk mengikuti olimpiade kecil-kecilan. “Kebetulan juga searah, kang. Jadi bareng saya saja” ujar beliau. Yang saya amati, beliau selalu membaca sesuatu setiap akan melewati sebuah perempatan. Karena sedikit bertanya-tanya, saya perhatikan lagi dengan lebih jeli. Meskipun tidak sampai kepada kesimpulan pasti, ada beberapa kata yang saya berhasil tangkap. Beberapa lafal yang sering sekali kami baca selepas maghrib. 

Mengenang membuat saya dan teman-teman merasa dikenal oleh beliau-beliau. Tentu saja beliau kenal dengan santri-santrinya, namun tidak semua santri dekat dengan kyai-nya. Terlebih lagi, saya dan beberapa teman bukan santri yang populer juga. Tapi yang jelas beliau adalah guru kami. Segala hal yang berhasil dipelajari darinya, menjadikan beliau-beliau selalu ada dan hidup di tiap-tiap kepala yang mengkaji dan meresapi pelajaran dari beliau. Saya hanya bisa berucap terimakasih, sekali lagi terimakasih.

Saya jadi teringat ungkapan Shakespeare, saya dapat saat masih kuliah dulu.

“...So long as men can breathe or eyes can see,

So long lives this, and this gives life to thee.”

Dia benar juga. Demikian.