Kopi, Kehadirannya di Dapur Kita Hingga Karya Sastra



“Kopi itu diseduh, bukan disobek.” Ujar sebuah guyonan yang dinukil ke dalam sebuah tulisan berjudul 'Ngopi adalah Medium dari Obrolan yang Meliar'. Judulnya menggugah dan membuat mata kita terbuka, sebagaimana kopi itu sendiri. Bukan hanya itu, kehadiran tulisan tersebut akan semakin menarik jika dihadirkan pula syarah – bukan nama tetangga – yang diharapkan bisa memperluas wacana yang telah dibangun. 

Kita sudah mafhum dengan realita kegemaran ngopi yang melekat di taip-tiap lapisan masyarakat, lengkap  dengan gaya dan seleranya masing-masing. Bukan hanya itu, kita juga sangat bersyukur karena memiliki kopi yang sangat beragam. 

Kehadiran kopi di dapur kita, yang amat lazim, bermula dari ide dan ambisi Belanda, bisa dibilang VOC, di negeri kita ini. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa kopi juga menjadi salah satu komoditas besar pada program yang kita kenal dengan tanam paksa. Ditanam oleh petani kita, mereka pula yang merawat dan memetiknya. Kopi di masyarakat kita bukan sesuatu yang mewah, namun bisa dibilang istimewa. 

Polemik keistimewaan kopi sudah ada sejak kopi pertama kali diketemukan, diolah sebagaimana yang kita nikmati saat ini, di sekitar Yaman pada abad ke-13 M. Beberapa ulama yang hidup di masa itu sempat menghukumi kopi sebagai sesuatu yang haram karena disetarakan dengan wine. Silang pendapat cendikiawan muslim pada saat itu, mulai dari Mekkah hingga Mesir, sepertinya berlangsung cukup serius. Mereka yang berfatwa bahwa kopi haram menghadirkan argumen bahwa kopi dapat menghilangkan akal. Sementara partai seberang berfatwa bahwa kopi dapat merangsang otak untuk berpikir. “Kopi itu haram bagi mereka yang memang tidak cerdas” menjadi salah satu guyonan yang lahir dari polemik ini. Cendikiawan juga bisa ‘guyon’ ternyata. 

Tak ketinggalan juga cendikiawan muslim Indonesia. Salah satu ulama yang biasa kita kenal Kyai Ihsan Jampes juga ikut mencurahkan pemikirannya mengomentari kopi. Beliau menamainya dengan Irsyadul Ikhwan libayani Hukmi Syurbi Al-Qohwah wa Ad-Dhukhon (Petunjuk Tentang Penjelasan Hukum Kopi dan Rokok) ditulis pada sekitar pertengahan abad ke-19 M. Karya ini merupakan syarah dari buah pemikiran KH. Ahmad Dahlan – Bukan Pendiri Muhammadiyah – yang berjudul Tadzkirah Al-Ikhwan fi Bayani Qohwah wa Dukhan. Sebagaimana umumnya, pemikiran dan ide seseorang tidak muncul dari ruang kosong, ia kerap kali dipengaruhi oleh ruang dan waktu sekelilingnya. Maka tak heran jika kopi sebagaimana yang dikomentari oleh Kyai Ihsan, disandingkan dengan rokok. 

Wajah kopi dan rokok acap kali ditaruh berdampingan. ‘Beberapa’ perokok akan merasa sangat berbahagia jika kopi dan rokok berhasil mereka kawinkan satu meja. Lebih kongkritnya kita bisa jumpai di warung-warung kopi tradisional, seperti angkringan, di mana pemilik warung tersebut menyedikan rokok yang dijual ecer perbatang. Sepertinya mereka juga ingin ikut andil membangun kebahagiaan orang lain. Tentu rokok eceran tidak dapat ditemui di kafe-kafe mewah, Starbuck barangkali.

Lebih jauhnya, kopi juga menjadi simbol dari sebuah interaksi non-verbal yang dapat dipahami banyak orang. Saya jadi teringat sebuah cerita salah seorang santri yang gembira sepulang sowan dari salah satu kyai mashur di Jawa Timur. Kegembiraannya ini salah satunya disebabkan oleh suguhan yang diberikan oleh Kyai tersebut. Kyai tersebut menyuguhkan kopi ketimbang minuman lainnya. Karena memang tidak semua orang akan beliau suguhi kopi. 

Di dunia pesantren sendiri, kopi menjadi penyemangat beberapa orang saat berdiskusi atau pereda tempo saat mereka mulai eyel-eyelan terhadap makna sebuah makalah atau hukum suatu kasus. “Sek-sek, ngopi sek” kurang lebih begitu usul salah satu dari mereka, sambil membuka makalah dan mencari rujukan yang lebih moderat. Saya rasa ini dapat dikategorikan ke dalam ‘obrolan yang meliar’. Tentunya tidak jarang juga menemui seseorang yang sedang menyendiri, hampir melamun, dengan kopi di sisinya. Mungkin ia sedang menikmati hidup, atau memikirkan sesuatu yang menarik.

Sementara itu, potret yang sedikit berbeda juga di tampilkan di warung-warung kopi tradisional. Tanpa perdebatan, diiringi suara sinden dari radio, mengadu nasib tentang ternaknya, padinya, hasil panen, atau kadang tetangganya. Mereka tak terlalu tertarik untuk bertengkar, barang kali karena sudah seharian berada di sawah. Bersyukur dan melontarkan puji-pujian kepadaTuhan, buat mereka lebih kadang lebih menarik. 

Kopi juga ikut andil menghiasi dunia kesusastraan. Salah satunya digubah oleh Leo Tolstoy, The Coffee-House of Surat. Ia menggambarkan kafe tersebut sebagai tempat dialog antar ras lintas agama dalam memandang Tuhan. Orang Persia yang sedikit mabuk memulai pembicaraan tersebut. Satu-persatu mereka menjawab dengan kepercayaan dan konsep yang mereka pegang, memang tidak secara holistik. Perdebatan itu semakin intens sampai salah satu dari mereka menyela dan meminta pendapat dari salah satu pemuda yang tak berkomentar sejak percakapan digelar. Alih-alih menjawab secara langsung, pemuda itu justru menyajikan sebuah cerita yang membuat diskusi semakin kehilangan tepinya. Tak ingin terlalu berlarut-larut, ia akhirnya menyodorkan sebuah pendapat “kalau seseorang sudah mengenal Tuhan, maka secara otomatis ia akan menjadi semakin dekat serta diberkati dengan kebaikan, pengampunan, kasih dan cinta” ungkap salah satu murid Konfusius itu. 

Rasanya ini sudah terlalu liar. Pada kasus ini, saya ingin meminjam istilah yang dipakai penulis sebelumnya. Ketimbang dibilang liar, diskusi yang mereka lakukan akan tampak lebih epik jika dibilang membelukar (baca: Ngopi adalah Medium dari Obrolan yang Meliar).

Pada akhirnya, tentu kita semua paham dengan kosep proporsional dalam bertindak. Jadi, alih-alih menjadikan kopi sebagai barang mewah nan penuh filosofi, kopi akan tetap begitu. Ia memiliki kisah perjalanannya sendiri. Keberadaannya di tiap-tiap dapur rumah dan warung sudah selayaknya disyukuri. Dan terlepas dari itu, salah satu ungkapan yang cukup menggembirakan adalah undangan dari penulis sebelumnya. Dengan senang hati, “jadi, ayo ngopi.”