Mayat



 

Monggo, pak dhe!” 

Nggih, monggo!”

Pagi ini memang sedikit berbeda, jauh dari bising kendaraan dan ketergesa-gesaan. Sebaliknya, udara segar dan siul burung-burung pagi memberi kesan pertama yang bersahaja. Seperti biasa, orang-orang biasa menyapa satu dengan lainnya saat berpapassan. Hal itu tidak aneh meskipun mereka tidak pasti kenal. Bahkan kadang ada juga yang menyapa namun masih menatap orang yang ia sapa karena ia terlihat asing di desa tersebut. Itu yang saya alami. 

Tidak ada rokok pagi ini. Saya sengaja tidak mebelinya, dan berusaha berkomitmen untuk tidak merokok selama berada di sini. Itu berarti sekitar lima sampai tujuh hari. Dengan sepeda, saya melihat-lihat kampung yang sudah sekitar dua tahun tidak pernah ku sambangi. Tidak banyak yang berubah, semuanya masih sama. Ya memang ada beberapa rumah baru, dua di balik bukit dan  satu di atasnya. 

Ah! Jujur saja, spanduk-spanduk dan beberapa bendera parpol itu mengganggu saja. Saya hanya mengumpat kalau soal itu. Soalnya para warga menganggap bendera-bendera itu sebagai hiasan, jalan desa jadi terlihat warna-warni. 

Kebanyakan teman-teman saya merantau ke kota. Pola klasik. Kalau mau dapat uang banyak dan pekerjaan 'lebih enak', ya ke kota. Sebenarnya saya juga tidak punya banyak teman juga. Jadi ya sama saja sepertinya. 

Pareng,mbah!”

Monggo... Loh, mas sampean itu Anto, ya? Anaknya pak Susan, kan?”

Nggih mbah, leres. Kulo...” mendadak saya hentikan sepeda untuk menjawab tanggapan dari beliau. Ya, saya kenal beliau. Namanya Mbah Wardi, salah satu pemuka kampung. Biasanya kalau ada acara ngantenan atau acara-acara yang dianggap sakral, beliau akan bertindak sebagai pembawa acara.

“ya ampun, saya hampir pangling! Apa kabar ini?

“Alhamdulillah, baik mbah. Lha njenengan, apa kabar?”

“Alhamdulillah, ya begini ini. Kamu nggak pangling sama saya, kan?”

“Wah, tidak mbah! Mbah Wardi, kan?”

“Berarti memang awet muda, saya” ujarnya sedikit terkekeh.

Memang tidak banyak yang berubah dari kampungku. Karakter orang-orangnya masih sama ramahnya, paling tidak itu kesan pertama setelah dua tahun meninggalkan kampung. Bagaimanapun, saya harus siap dengan apa saja yang terjadi. Rasanya terlalu naif kalau menaruh harap kepada orang kampung saya untuk terus seperti dulu. 

Perbincangan saya dengan Mbah Wardi diwarnai dengan tawa segar. Guyonan-guyonan yang kadang telat saya tangkap lucunya tetap membuat obrolan hidup. Saya cukup menikmatinya, sebuah pembukaan yang benar-benar memberikan nuansa liburan bagi saya. Bukan itu saja, obrolan kami disambung dengan tawaran beliau untuk mampir dahulu ke gubuknya. Saya tak kuasa menolaknya, karena nada beliau sedikit memaksa. Tentu saja penolakan saya di awal tadi adalah sikap basa-basi saja, yang mana saya memang tidak bermaksud untuk menolaknya. Basa-basi bukan budaya orang-orang di kampung saya, karena memang mereka senang jika kedatangan tamu. Prinsipnya, kalau ada tamu berarti gula di dapur ada fungsinya.

Nduk, Laras! Ini ada tamu” tutur Mbah Wardi pada seorang gadis yang sedang menyapu halaman. Rambutnya diikat rapi. 

“Nggih, pak...” gadis itu langsug masuk ke dalam rumah. Tak lupa juga, dilemparnya senyum ke arah ku. Tampaknya baru separuh dari pekerjaannya beres. Di teras, kami habiskan pagi dengan pembicaraan-pembicaraan ringan sambil mencomot beberapa pisang goreng buatan Laras. Pukul 07.30, saya berpamitan, tak lupa juga menyapa Laras yag kini sibuk menyiram bunga. 

***

“Sarapannya sudah siap, nak.” Ibuku semangat sekali saat aku di  rumah. Sarapan telah terhidang di meja bahkan setengah jam lebih dini dari biasanya. Kalau bapak, masih seperti biasanya. Duduk-duduk di teras, barangkali setengah jam, sebelum memikul cangkulnya berangkat ke sawah. 

Bapak memang seperti itu, sedikit bicara dan tidak terlalu ekspresif. Kepadaku-pun demikian. Kami hanya berdialog untuk hal-hal yang penting saja. Itu pun bisa baru terjadi kalau kami sama-sama tertarik dengan maslah tersebut. kalau tidak, diskusi akan mandeg di tengah dan tidak mendatangkan kesimpulan di pungkasannya.

Ku lihat bapak masih duduk di teras. Di seberang jalan, beberapa warga berbondong-bondong ke sawah, dengan langkah dan gerakan sangat santai. Kaki-kaki telanjang itu seakan menikmati apa yang dipijak, jadi tak buru-buru diangkat. Bahkan kadang mereka sempat berhenti di halaman warga lain untuk menunggu yang lainnya. Bagi warga kampungku, musim penghujan adalah musim yang amat membahagiakan. Jadi, mereka harus merayakaanya secara massal. Pergi ke sawah bejamaah. 

***

“Ya ampun, Gusti! Pak! Mayat, pak!” 

Teriakan Bu Suratmi menjangkau hampir seluruh warga yang sedang sibuk di sawah. Meskipun tidak terlalu jelas apa yang ia teriakkan, orang-orang sontak berlarian ke arah bu Suratmi. 

Wonten nopo, Bu!”

“Pak Kadus! niku lo! Wonten mayat!” ia berteriak histeris hingga lemas kehabisan tenaga. Mungkin karena kaget, atau bisa saja karena ketakutan. Pak kadus dan beberapa lelaki mendekat. Benar saja, jasad seorang wanita. Kulitnya putih pucat karena terlalu lama berada di air. Para warga yang berada di lokasi mengerubungi mayat itu bak lalat-lalat yang menyerbu bangkai. Masing-masing mereka mulai bergumam satu dengan lainnya. Bapakku adalah salah satu dari warga yang berada di kerumunan itu, tapi ia diam tak bergumam. 

“Tadi saya mau cuci kaki, saya lihat kok ada merha-merah di sisi sungai. Saya dekati ternyata ada rambut di sisi benda itu. Saya hampir ambruk tadi, pak!” Bu Suratmi memaparkan kejadiannya.

Dua jam telah berlalu. Beberapa warga sudah hengkang dari lokasi kejadian. Sudah saatnya untuk memberi makan ternak mereka. Mayat itu masih dapat dikenali, seorang wanita. Usianya kisaran 30-an tahun. Tanpa busana, dengan bekas memar di leher dan pergelangan tangan. Mungkin sudah lama mengapung di atas sungai lalu dibawa oleh alirnya hingga sampai ke kampungku ini. Biadab! Tak satupun warga mengenal wanita itu. Tak tau dari mana asalnya, tak kenal pula latar belakangnya.

Petugas berdatangan melakukan segala yang diperlukan.  

Ini adalah kali pertamanya seumur hidupku menyaksikan hal semacam ini terjadi di kampungku. Aku mulai kecewa, kecewa kepada siapa saja. Tak hentinya aku memikirkan kejadian ini. Di perjalanan pulang, tak ada satupun kata terlempar antara aku dan bapak. 

***

Maghrib telah menjelang, masih tak bisa ku singkirkan usikan di kepalaku. Kejadian tadi siang menghantarku ke berbagai macam asumsi serta hal-hal lain. Peristiwa tadi siang adalah teror awal pada masyarakat kampungku. 

“...Teh atau kopi?”

“Nanti saja biar saya buat sendiri, Bu.”

“Bapak?” “Teh, Bu. Sedikit lebih manis, ya.”

“Teh manis, pak?” tanyaku, hanya untuk membuka sebuah percakapan. “Hal yang baru itukan perlu dicoba” ujarnya. Tak sampai lima menit, teh sudah sampai di hadapan bapak. 

“Kalau menurut bapak, yang tadi itu bagaimana?” 

“Bapak sudah tau kalau kamu akan bahas soal ini.” Beliau membuka tutup tehnya. Kemudian menarik nafas panjang. “Ya, kalau bapak punya pandangan...” beliau memang sering memotong-motong kalimatnya, baik saat bercerita atau menceramahiku dulu waktu aku masih kecil. “...yang tadi siang itu tragedi.” “Bisa saja lebih dari itu, pak. Bisa saja sebuah ancaman.” sanggahku. “Ancaman? Coba kamu pikir, apa ada yang lebih mengerikan dibanding tragedi kemanusiaan?” Ku coba cerna kembali perkataan beliau. “Ini pernyataan atau pernyataan?” pikirku. Belum sempat aku memberi respon, beliau menimpali “ya, begitulah adanya... orang-orang kampungmu masih tetap bersahaja. Kau akan tetap mendapati senyum mereka esok pagi.” 

Benar saja, paginya aku kembali bersepeda. Ini hari libur terakhirku. Seperti biasa, beberapa warga dengan senyum ramahnya menawariku untuk mampir ke rumah mereka.